Model-Model Penalaran Hukum
Model - Model
Penalaran Hukum
Dari uraian tentang aspek-aspek ontologis,epistemologis,
dan aksiologis terlihat bahwa penalaran hukum berpegang pada logika deontik. Penelitian
logika deontik terakhir, sebagaimana dikemukakan oleh John F. Horry, membedakan
secara tegas antara pernyataan “ought to be” dan pernyataan “ought to do”. Pergulatan
antara keduanya dalam diskursus logika deontik kurang lebih sama dengan
persoalan “what the law ought to be” dan “what the law is” dalam penalaran
hukum. Model penalaran dalam bidag hukum dapat diartikan secara luas atau
sempit.
Model-model penalaran hukum kemudian menjadi identik
dengan kerangka berpikir yuridis sebagaimana ditunjukkan oleh aliran-aliran
filsafat hukum. Dibagi kepada enam model yang dikenal secara klasikal. Keenam model
penalaran hukum tersebut adalah :
1.
Aliran Hukum
Kodrat
2.
Positivisme Hukum
3.
Utilitarianisme
4.
Mazhab Sejarah
5.
(American)
Sociological Jurisprudence
6.
Realisme Hukum
Aspek ontologis terkait dengan pemaknaan hakikat hukum.
Masing-masing aliran menawarkan persepsinya sendiri tentang apa hukum itu. Hakikat
hukum dapat dibedakan menjadi dua kubu, hakikat sebagai gagasan (idealisme) dan
sebagai kenyataan imanen (materialisme). Dialektika dari keduanya menunjukkan
sinkretisme ontologis antara idealisme dan materialisme, atau disebut dualisme.
Aspek epistemologis berhubungan degan langkah-langkah metodologis yang
dilakukan selama proses penalaran hukum. Di sini juga terdapat dua titik
ekstrem yakni intuisi dan empiri. Dan aspek aksiologis berupa kepastian hukum.
1. Aliran Hukum Kodrat
Sekalipun ada varian yang ckup beragam tentang pemaknaan
hukum menurutaliran hukum kodrat, satu hal ynag jelas bahwa aliran ini
menempatkan ontologi hukumpada tataran hukum yang sangat abstrak. Hakikat hukum
dalam arti yang sebenarnya dimaknai lebih sebagai asas-asas daripada norma. “Semua
manusia mencintai kebenaran dan keadilan” adalah salah satu bentuk premis
Self-evident yang paling relevan dengan konteks uraian ini. Kebenaran dan
keadilan ini merupakan kerinduan paling dalam manusia yang terus dicari
sepanjang zaman. Aliran hukum kodrat sepertinya memang didesain menjawab
kebutuhan ini. Ini berarti hukum buatan manusia, tanpa terkecuali, harus
dimaknai sebagai pengejawantahan premis Self-evident itu. Demikian keras
tuntutan itu, sehingga secara maknawi hukum buatan manusia inipun diberi
batasan ideal sebagai asas-asas kebenaran dan keadilan juga.
Polapenalaran hukum kodrat sepenuhnya menunjukkan
kesamaan dengan penalaran moral. Jika diasumsikan bahwa hukum adalah asas
kebenaan, maka dapat dimaklumi bahwa satu hal yang paling menarik dari Aliran
Hukum Kodrat ini adalah keasyikanmemfokuskan diri pada pengujian validitas
normatif, khususnya validitas (legitimasi) dari hukum buatan manusia.
2. Positivisme Hukum
Positivisme hukum, dalam definisinya yang paling
tradisional tentang hakikat hukum, memaknainya sebagai norma norma positif
dalam sistem perundang undangan. Dari segi ontologi nya, pemaknaan demikian
mencerminkan penggabungan antara Idealisme dan Materialisme.
Hukum adalah ungkapan kehendak penguasa. Kehendak ini jelas
bukan sesuatu yang kosong melompong. Perbedaan dengan aliran hukum kodrat yang
sibuk dengan permasalahan validasi hukum buatan manusia maka pada positivisme
hukum, Aktivitasnya justru diturunkan kepada permasalahan konkrit. Masalah
validitas aturan tetap diberi perhatian, tetapi sekedar regulasi yang
dijaminkan acuan nya adalah juga norma norma hukum. Logikanya norma hukum hanya
mungkin diuji dengan norma hukum pula, bukan pada Non norma hukum.
Jika aliran hukum kodrat memiliki kekuatan argumen pada
wacana validasi hukum buatan manusia, maka kekuatan argumen positivisme hukum
terletak pada aplikasi struktur nama positif itu ke dalam struktur kasus kasus
konkrit. Aspek aksiologis yang diperjuangkan positivisme hukum adalah kepastian
hukum. Dengan mengambil sumber formal hukum berupa perundang undangan, dia kini
bahwa hal ini dapat diwujudkannya. Asas legalitas merupakan roh dari upaya
Pengajaran kepastian hukum tersebut.
3. Utilitarianisme
Model penalaran hukum Utilitarianisme pada dasarnya
berangkat dari titik tolak yang sama dengan Positivisme Hukum. Konsep-konsep
berpikir John Austin misalnya, banyak kesamaan dengan sahabat dekatnya yakni
tokoh Utilitarianisme Jeremy Bentham. Positivisme menjadi menarik dan berbeda
dengan Utilitarianisme,sebenarnya justru berkat andil Kelsen dengan gerakan
pemurnian hukumnya.
Aspek Ontologis dari model Utilitarianisme tidak berbeda.
Yang membedakan dengan Positivisme Hukum adalah pada gerakan top down yang
kemudian diikuti dengan gerakan bottom-up. Gerakan top-down dan bottom-up
ini tidak simultan, tetapi berjalan linear. Setiap peraturan yang menurut pola
penalaran Positivisme Hukum adalah perintah penguasa tersebut,memerlukan waktu
untuk kemudian di evaluasi dan dinilai baik buruknya. Ini berarti bahwa prinsip
efficacy tidak dapat mempengaruhi prinsip validity. Suatu norma
positif tetap absah, terlepas hasil evaluasinya menunjukkan aturan itu tidak membawa
manfaat bagi sebagian besar masyarakat yang terikat norma tersebut.
Jika model penalaran ini dituangkan dalam putusan hami,
maka putusan tersebut tidak mengacu kepada kepastian semata,melainkan juga
kemanfaatan pada pihak-pihak terkait dalam arti
luas. Kepastian hukum menurut penalaran ini harus menjadi tujuan primer
huku, baru kemudiat kemanfaatan sebagai tujuan sekudernya. Sayangnya, semua
konstruksi berpikir ini hanya ada dibenak si pengemban hukum itu, tidak mungkin
dibaca secara eksplisit oleh penstudi hukum, sehingga secara kasatmata oleh
pihak eksternal si penalar model Utilitarianisme ini sulit dibedakan dengan
[american] Sociological Jurisprudence.
Sebagaimana dinyatakan bahwa modelpenalaran ini pada
tahap tertentu khususnya pertimbangan kemanfaatan dimunculkan, polanya sulit
dibedakan dengan Sociological Jurisprudence. Pada proposisi norma positif yang
disjungtif itu,premis nondoktrinal (keyakinan hakim pada fakta empiris)-nya
sangat menentukan putusan akhir sanghakim. Jika premis non-doktrinalnya
mendukung atau sejalan dengan kebijakan premis normatif, maka putusan hakim
akan membatalkan putusan. Sebaliknya jika ia tidak mendukung premis
normatif,hakim dapat membatalkan atau tidak membatalkannya (peluang sama
besar).
Karena basis Utilitarinisme ini sama dengan Positivisme
Hukum. Maka modelpenalaran ini dapat dianggap sebagai modifikasi dari Legisme,
yaitu Positivisme Hukum yang paling konservatif. Model penalaran ini bahkan
bisa dianggap sebagai “penyusup
sosiologi” lewat pintu belakang positivisme hukum, oleh karena itu tidakheran
bahwa model ini dapat diterima dengan baik dikawasan keluarga sistem common
law, maupun civil law,dengan tokoh yang mendukung seperti Bentham (1748-1832),
Rudolf van lhering (1818-1892), dan Holmes (1841-1935).
4. Mazhab Sejarah
Pola penalaran yang dikembangkan oleh Mazhab Sejarah pada
dasarnya tidak melewati langkah-langkah yang sistematis. Itulahsebabnya , model
penalarannya sangat alami, bukan sesuatu yang didesain khusus , konsisten
dengan jargon aliran berpikirini bahwa hukumtidak dibuat melainkan tumbuh
bersama dengan masyarakat (das recht wird nicht gemacht, est ist und wird
mit dem Volke).
Aspek ontologis dari Mazhab Sejarah menekankan bahwa
hukum adalah pola-pola perilaku sosial yang terlembagakan. Proses institusionalisasi
dari perilaku sosial ini sangat bergantung pada aspek-aspek seperti efektivitas
menanam, kekuatan menentang dari masyarakat, kecepatan menanam. Ditinjau dari
aspekaksiologisnya,model penalaran Mazhab Sejarah menggabungkan sekaligus
antara kemanfaatan dan keadilan. Kedua tujuan hukum dalam aspek aksiologis ini
berada pada tataran yang sama primernya,sehingga pengupayaannya pun dilakukan
secara simultan.
Model penalaran Mazhab Sejarah jelassangat kuat bernuansa
sosiologis-antropologis.titik berijak penalaran ii juga bukan lagi menggunakan
landasan berdiri seorang partisipan (medespeler). Ini memakai gaya bernalar
pengamat.
Kurangnya peminat terhadap pola penalaran Mazhab sejarah
juga dipengaruhi oleh inkonsistensi pandangan Savigny terhadap konsep awalnya
tentang hukum. Pada awalnyaSavigny meyakini hukum tidak mungkin diisahkan dari
rakyat,sebagaimana halnya dengan bahasa. Hak dan kewajiban dibentuk dan dihapus
oleh tingkanth laku simbolis yang sebenarnya merupakan tata-bahasa hukum pada
saat itu. Namun,pada perkembangannya kemudian Savigny mengakui
jikakehidupansosial bertambah kompleks, maka hukum perlu lebih dikonkretkan
secara alamiah dengan menggunakan bahasa yang lebih sempurna. Dalam rangka
inilah diperlukan sebuah kelas profesional yang disebut para ahlihukum (yuris).
Mereka berperan aktif untuk membentuk lembaga-lembaga hukum dengan baik tentu
lembaga hukum seperti itu harus dilengkapi dengan norma-norma yang menjadi
substansi hukum, yang sangat mungkin tidak ditemukan dalam khazanah tradisi
masyarakat setempat. Artinya, dalam tahap ini Savigny sudah menerima
kemungkinan adanya hukum yang dikreasikan.
Tanpa mengurangi pengakuan bahwa Mazhab Sejarah telah
memperoleh respon positif dari pembela hukum adat dikawasan negara-negara civil
law sendiri, haruslah diterima kenyataan bahwa model penalaran Mazhab Sejarah
tetap tidak mampu mencegah semangat unifikasi dan kodifikasi dalam sistem hukum
negara.
5. [American]
Sociological Jurispudence
[American] Socialogical Jurispudence adalah model
penalaran yang lahir dalam sistem hukum Anglo-Amerika. Sekalipun demikian,
model penalaran ini telah banyaj dimodifikasi, tatkala sitem hukum lain mencoba
mengakomodasikannya. Contohnya adalah Teori Hukum Pembangunan yang dikemukakan
oleh Mochtar Kusumaatmadja yang ditawarkan termasuk model penalaran yang
diderivasi dari [American] Sociological Jurispudence tersebut disesuaikan
dengan kebutuhan sistem hukum nasional Indonesia. Kekhasan dari sistem hukum Amerika
Serikat pada umumnya, yang berakar dari keluarga sistem common law, adalah
aspek ontologisnya yang mengidentifikasi hukum sebagai putusan hakim
in-concreto.
Hukum adalah judge-made-law. Dapat dibenarkan dari
pandangan yang mengatakan bahwa [American] Sociological Jurispudence adalah
sintetis dari dua aliran filsafat hukum, yaitu Postivisme Hukum dan Mazhab
Sejarah. Ada pandangan, bahwa Positivisme Hukum merupakan tesis sedangkan
Sejarah Mazhab sebagai antitesis. Model penalaran ini juga dapat diperbandingkan
dengan Utilitarianisme. Perbedaan yang mencolok dari keduanya adalah pada
gerakan linear dan simultan pada masing-masing pola penalaran. Utilitarianisme
mendahulukan pola top-down baru kemudian diikuti oleh gerakan bottom-up,
sedangkan Sociological Jurispudece kedua pola tersebut diasumsikan berlangsung
bersamaan. Aspek aksiologis dari model penalaran Sociological Jurispudence
menunjukkan adanya tujuan kemanfaatan dan kepastian hukum.
6. Realisme Hukum
Realisme Hukum apabila dipresentasikan sebagal model
penalaran, dapat dianggap sebagai model yang mengambil posisi paling bertolak
belakang dengan Positivisme Hukum. Ketidakpercayaan kamu ini terhadap norma
positif berpuncak pada ketidakpercayaan mereka pada konsep the rule of the law.
Dilihat dari segi ontologisnya, Realisme Hukum mengartikan hukum sebagai
manifestasi makna-makna simbolik para pelaku sosial. Pemaknaan demikian jelas
sangat jauh dari nuansa filsafat, tetapi lebih menjurus kepada kombinasi dari
berbagai disiplin ilmu seperti sosiologi, psikologi, antropologi, dan ekonomi.
Realisme Hukum dibedakan dalam dua versi, yaitu Realisme Amerika dan Realisme
Skandinavia. Realisme Hukum versi Amerika dianggap lebuh memberi perhatian pada
perilaku (behaviour orientation). Realisme Skandinavia disisi lain lebih
mempersoalkan landasan metafisis hukum. Jika rekannya di Amerika bersikap
rule-sceptics, maka kaum Realis Skandinavia bersikap methaphysic-sceptics
dengan titik berat pada keseluruhan sistem hukum, bukan sekadar perilaku
pengadilan. Dilihat dari segi-segi ini, Realisme Hukum versi Amerika jelas
lebih tepat mewakili aspek ontologis Realisme Hukum daripada versi Skandinavia.
Aspek epistemologis dari Realsime Hukum adalah fakta konkret secara mutlak.
Banyak kalangan menilai, bahwa cara berpikir Realisme Hukum adalah sangan
spekulatif jika ia ingin mengatasi ketidakpercayaannya pada the rule of the law
melalui pemberian kebebasan demikian besar pada hakim.
Komentar
Posting Komentar