Syar'u Man Qablana
PEMBAHASAN
Pengertian Syar’u Man Qablana
Secara etimologi syar’u man qoblana yaitu syariat sebelum kita.
Secara terminologi atau istilah Syar’u Man Qoblana yaitu syari’at atau ajaran-ajaran sebelum islam yang berhubungan dengan hukum, seperti syari’at Nabi Ibrahim, Nabi Musa, Nabi Isa. Maka pengertian secara mudahnya adalah Syar’u Man Qablana adalah Syariat-syariat hukum dan ajaran-ajaran yang berlaku pada masa Nabi-Nabi sebelum Nabi Muhammad SAW.
Para Ulama menjelaskan bahwa syari’at sebelum kita atau Syar’u man Qablana ialah hukum-hukum yang telah disyari’atkan untuk umat sebelum Islam yang dibawa oleh para Nabi dan Rasul terdahulu dan menjadi beban hukum untuk diikuti oleh umat sebelum adanya syari’at Nabi Muhammad SAW.
Pada hakikatnya, semua syari’at samawiyah termasuk syariat umat sebelum kita itu memiliki kesamaan yaitu diturunkan oleh Allah. Hal ini diperkuat oleh firman Allah SWT dalam surat as-Syura ayat 13 yang berbunyi :
۞ شَرَعَ لَكُمْ مِنَ الدِّينِ مَا وَصَّىٰ بِهِ نُوحًا وَالَّذِي أَوْحَيْنَا إِلَيْكَ وَمَا وَصَّيْنَا بِهِ إِبْرَاهِيمَ وَمُوسَىٰ وَعِيسَىٰ ۖ أَنْ أَقِيمُوا الدِّينَ وَلَا تَتَفَرَّقُوا فِيهِ ۚ كَبُرَ عَلَى الْمُشْرِكِينَ مَا تَدْعُوهُمْ إِلَيْهِ ۚ اللَّهُ يَجْتَبِي إِلَيْهِ مَنْ يَشَاءُ وَيَهْدِي إِلَيْهِ مَنْ يُنِيبُ
Yang artinya :
“Dia telah mensyari'atkan bagi kamu tentang agama apa yang telah diwasiatkan-Nya kepada Nuh dan apa yang telah Kami wahyukan kepadamu dan apa yang telah Kami wasiatkan kepada Ibrahim, Musa dan Isa yaitu: Tegakkanlah agama dan janganlah kamu berpecah belah tentangnya. Amat berat bagi orang-orang musyrik agama yang kamu seru mereka kepadanya. Allah menarik kepada agama itu orang yang dikehendaki-Nya dan memberi petunjuk kepada (agama)-Nya orang yang kembali (kepada-Nya).”
Sehubungan dengan itu setiap rasul yang dating belakangan, disamping bertugas membawa syariat yang baru untuk umatnya, juga melakukan semacam penyempurnaan dan pembatalan syariat sebelumnya yang tidak diberlakukan lagi bagi umatnya. Hal ini memiliki arti bahwa apa yang harus dijalankan umatnya, diantaranya ada yang sama dengan syari’at umat sebelumnya da nada ketentuan syariat yang baru sama sekali.
Hal ini dibicarakan dalam ilmu Ushul Fiqh, agar kita mengetahui boleh tidaknya mengikuti peratuan-peraturan agama yang dibawa oleh Nabi-Nabi sebelum Nabi Muhammad SAW.
Pendapat Ulama tentang Syar’u Man Qablana
Sebelum lebih jauh mengemukakan perbedaan pendapat ulama tentang persoalan ini lebih dahulu ditegaskan, bahwa semua ulama sepakat, Syar’u Man Qablana yang tidak terdapat dalam Al-Qur’an maupun Sunnah, dengan sendirinya menjadi tidak berlaku bagi Nabi Muhammad SAW dan umatnya. Sebab syariat Nabi Muhammad SAW bersifat menggantikan syariat terdahulu.
Selanjutnya, para ulama juga sepakat, Syar’u Man Qablana yang tercantum dalam Al-Qu’an atau Sunnah dan secara tegas dinyatakan berlaku oleh Rasulullah SAW, keberlakuannya bukan karena kedudukannya sebagai Syar’u Man Qablana, melainkan karena disyariatkan oleh Al-Qur’an atau Sunnah Rasulullah SAW.
Adapun yang menjadi objek perbedaan pendapat ulama adalah, hukum dari masalah-masalah yang tidak secara tegas diberlakukan pada syariat Nabi Muhammad, ada juga yang tidak terdapat Nash yang me-nash-kannya atau membatalkannya. Dalam hal ini, terdapat dua kelompok pendapat ulama yang saling bertolak belakang tentang berlaku atau tidaknya Syar’u Man Qablana tersebut bagi Nabi SAW dan umat beliau. Pendapat-pendapat tersebut akan dijabarkan sebagai berikut :
Mayoritas Ulama Hanafiyyah, Ulama Malikiyah, sebagian Ulama Syafi’iyyah dan sebagian Hanabilah
Berpendapat Syar’u Man Qablana berlaku bagi umat Islam, jika syariat tersebut diinformasikan melalui Rasulullah SAW, bukan karena terdapat dalam kitab suci mereka yang telah mengalami perubahan, dan tidak terdapat nash Syara’ yang membantahnya. Dasar pendapat mereka adalah :
(Firman Allah SWT dalam surat Al-An’am : 90)
أُوْلَئِكَ الَّذِينَ هَدَى اللّهُ فَبِهُدَاهُمُ اقْتَدِهْ قُل لاَّ أَسْأَلُكُمْ عَلَيْهِ أَجْرًا إِنْ هُوَ إِلاَّ ذِكْرَى لِلْعَالَمِينَ ﴿٩٠﴾
Yang artinya : “Mereka itulah orang-orang yang telah diberi petunjuk oleh Allah, maka ikutilah petunjuk mereka. Katakanlah: "Aku tidak meminta upah kepadamu dalam menyampaikan (Al-Quran)". Al-Quran itu tidak lain hanyalah peringatan untuk seluruh ummat.” (QS. Al-An’am : 90)
Ayat diatas ditunjukkan kepada Rasulullah SAW agar mengikuti para Nabi dari Bani Israil. Oleh karena itu, syari’at mereka juga harus diikuti, selama tidak ada nash yang me-nash-kannya.
Ulama Asy’ariah, Mu’tazilah, Syi’ah, sebagian Ulama Syafi’iyyah dan mayoritas Ulama Hanabilah
Berpendapat, Syar’u Man Qablana, yang tidak ada ketegasan pemberlakuannya dan tidak pula ada nash yang me-nash-kannya, maka ia tidak berlaku bagi Nabi Muhammad dan umatnya. Dalil yang mereka kemukakan, antara lain, ialah :
(dalam Firman Allah SWT Surah Al-Maidah ayat 48)
وَأَنْزَلْنَا إِلَيْكَ الْكِتَابَ بِالْحَقِّ مُصَدِّقًا لِمَا بَيْنَ يَدَيْهِ مِنَ الْكِتَابِ وَمُهَيْمِنًا عَلَيْهِ فَاحْكُمْ بَيْنَهُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ وَلا تَتَّبِعْ أَهْوَاءَهُمْ عَمَّا جَاءَكَ مِنَ الْحَقِّ لِكُلٍّ جَعَلْنَا مِنْكُمْ شِرْعَةً وَمِنْهَاجًا وَلَوْ شَاءَ اللَّهُ لَجَعَلَكُمْ أُمَّةً وَاحِدَةً وَلَكِنْ لِيَبْلُوَكُمْ فِي مَا آتَاكُمْ فَاسْتَبِقُوا الْخَيْرَاتِ إِلَى اللَّهِ مَرْجِعُكُمْ جَمِيعًا فَيُنَبِّئُكُمْ بِمَا كُنْتُمْ فِيهِ تَخْتَلِفُونَ
Yang artinya :
"Dan Kami telah turunkan kepadamu Al Qur'an dengan membawa kebenaran, membenarkan apa yang sebelumnya, yaitu kitab-kitab (yang diturunkan sebelumnya) dan batu ujian terhadap kitab-kitab yang lain itu; maka putuskanlah perkara mereka menurut apa yang Allah turunkan dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu. Untuk tiap-tiap umat di antara kamu, Kami berikan aturan dan jalan yang terang. Sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat (saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap pemberian-Nya kepadamu, maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan. Hanya kepada Allah-lah kembali kamu semuanya, lalu diberitahukan-Nya kepadamu apa yang telah kamu perselisihkan itu." (QS. Al-Maidah : 48)
Ayat ini menegaskan bahwa setiap umat sudah ada syariatnya masing-masing, dan tidak diperintah untuk mengikuti syariat umat lainnya. Karena itu, Syar’u Man Qablana tidak berlaku bagi kita.
Setelah memperhatikan perdebatan kedua kelompok diatas, sebagai ulama ushul fiqh kontemporer, seperti: Khudari Baik, Abdul Wahhab Khallaf dan Zakiuddin Sya’ban lebih cenderung kepada pendapat kelompok pertama. Alasan-alasan mereka adalah:
Dengan tercantumnya Syar’u Man Qablana pada Al-Qur’an dan Sunnah yang Shahih maka ia termasuk didalam syariat Samawi.
Keberadaanya dalam Al-Qur’an dan Sunnah tanpa diiringi dengan penolakan dan tanpa nash menunjukkan bahwa ia juga berlaku sebagai syariah Nabi Muhammad SAW.
Sebagai implementasi dari pernyataan bahwa Al-Qur’an membenarkan kitab-kitab Taurat dan Injil.
Dari uraian pendapat-pendapat diatas, dapat disimpulkan, Syar’u Man Qablana tidak berdiri sendiri, melainkan baru dapat berlaku jika dikukuhkan dengan dalil-dalil Al-Qur’an dan Sunnah yang shahih, sekaligus tidak terdapat dalil yang menunjukkan bahwa ia telah mansukh.
Kehujjahan Syar’u Man Qoblana
Syariat umat sebelum kita kedudukannya ialah dapat menjadi syariat kita jika Al-Qur’an maupun Sunnah telah menegaskan bahwa syariat ini diwajibkan bagi mereka, yaitu orang-orang terdahulu dan juga kepada kita untuk mengamalkannya, seperti puasa dan qisash. Tetapi apabila Al-Qur’an dan Sunnah menegaskan bahwa syariat orang terdahulu tersebut telah dihapus hukumnya, maka tidak ada perselisihan lagi bahwa syariat orang terdahulu itu bukan syariat kita.
Seperti Nabi Musa AS, yang menghukum bahwa orang yang berdosa tidak dapat menebus dosanya kecuali ia harus membunuh dirinya sendiri, pakaian yang terkena najis tidak dapat disucikan kecuali ia memotong bagian yang terkena najis tersebut. Dua syariat tersebut tidak belaku bagi umat Nabi Muhammad SAW. Selain itu juga, terdapat beberapa perbedaan syariat orang-orang terdahulu dengan syariat kita seperti format ibadah.
Menurut Abu Zahrah ada beberapa ketentuan yang harus diperhatikan dalam melihat syariat orang sebelum kita, sehingga Syar’u Man Qoblana itu layak untuk diikuti atau ditinggalkan. Untuk memutuskan itu sedikitnya ada 3 hal yang harus jadi pertimbangan:
Syariat orang sebelum kita itu harus diceritakan dengan berdasarkan kepada sumber-sumber yang menjadi pedoman ajaran Islam. Yang tidak dinukil dari sumber Islam, maka tidak dapat dijadikan hujah bagi umat Islam. Demikianlah hasil kesepakatan para fuqaha.
Apabila syariat orang sebelum kita itu telah di-nasakh (dihapus), maka tidak boleh diamalkan. Demikian juga jika terdapat dalil yang menunjukkan kekhususan bagi umat terdahulu, maka syariat itu khusus untuk mereka dan tidak berlaku bagi kita seperti Allah mengharamkan sebagian daging bagi orang bani Israil.
Bahwa dikukuhkannya syariat itu berlaku untuk mereka (umat sebelum kita) dan juga berlaku untuk kita itu didasari oleh nas Islam bukan oleh cerita orang-orang terdahulu. Seperti kewajiban berpuasa Ramadhan. Hal ini dinukil bukan oleh cerita tetapi oleh Al-Qur’an yang secara tegas dalam surat al-Baqarah ayat 183 yang berbunyi:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
Yang artinya : “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa”, ( QS. Al-Baqarah : 183)
Adapun mengenai persoalan boleh tidaknya berhujah dengan syariat umat terdahulu sebelum Nabi Muhammad tersebut, ada hal-hal yang diperselisihkan dan adapula yang disepakati, dengan penjelasan sebagai berikut:
Hal-hal yang disepakati
Mengenai hukum-hukum agama sebelum Islam, yang ternyata telah dihapus oleh Islam, ulama telah sepakat tentang tidak bolehnya beramal dengannya.
Mengenai hukum-hukum agama sebelum Islam, yang mana syariat Islam (Al-Quran dan Hadits) telah menetapkan berlakunya hukum tersebut, para ulama sepakat tentang wajibnya setiap muslim mengamalkannya.
Hal-hal yang diperselisihkan
Yaitu nash Al-Qur’an atau teks ayat ataupun matan Hadits yang meriwayatkan tentang peraturan atau hukum agama-agama sebelum Islam, sedang nash atau teks atau matan hadits itu tidak secara tegas melarang kita mengikutinya. Sebagai contoh pada surah al-Maidah ayat 45 yang artinya: “Dan Kami wajibkan atas mereka (Bani Israil) dalam kitab Taurat, bahwa jiwa dibalas dengan jiwa, mata dengan mata, hidung dengan hidung, telinga dengan telinga, gigi dengan gigi, luka dengan luka, sebagai qiyas.” Sehubung dengan ayat tersebut, perbedaan pendapat para ulama terbagi menjadi dua golongan. Pertama, berpendapat bahwa yang demikian wajib diikuti dan diamalkan. Yang berpendapat demikian adalah golongan Hanafiyah, sebagian Malikiyah, dan Syafi’iyah. Adapun golongan kedua, berpendapat bahwa peraturan atau hukum agama-agama sebelum Islam tidak boleh kita amalkan.
Pengertian Syar’u Man Qablana
Secara etimologi syar’u man qoblana yaitu syariat sebelum kita.
Secara terminologi atau istilah Syar’u Man Qoblana yaitu syari’at atau ajaran-ajaran sebelum islam yang berhubungan dengan hukum, seperti syari’at Nabi Ibrahim, Nabi Musa, Nabi Isa. Maka pengertian secara mudahnya adalah Syar’u Man Qablana adalah Syariat-syariat hukum dan ajaran-ajaran yang berlaku pada masa Nabi-Nabi sebelum Nabi Muhammad SAW.
Para Ulama menjelaskan bahwa syari’at sebelum kita atau Syar’u man Qablana ialah hukum-hukum yang telah disyari’atkan untuk umat sebelum Islam yang dibawa oleh para Nabi dan Rasul terdahulu dan menjadi beban hukum untuk diikuti oleh umat sebelum adanya syari’at Nabi Muhammad SAW.
Pada hakikatnya, semua syari’at samawiyah termasuk syariat umat sebelum kita itu memiliki kesamaan yaitu diturunkan oleh Allah. Hal ini diperkuat oleh firman Allah SWT dalam surat as-Syura ayat 13 yang berbunyi :
۞ شَرَعَ لَكُمْ مِنَ الدِّينِ مَا وَصَّىٰ بِهِ نُوحًا وَالَّذِي أَوْحَيْنَا إِلَيْكَ وَمَا وَصَّيْنَا بِهِ إِبْرَاهِيمَ وَمُوسَىٰ وَعِيسَىٰ ۖ أَنْ أَقِيمُوا الدِّينَ وَلَا تَتَفَرَّقُوا فِيهِ ۚ كَبُرَ عَلَى الْمُشْرِكِينَ مَا تَدْعُوهُمْ إِلَيْهِ ۚ اللَّهُ يَجْتَبِي إِلَيْهِ مَنْ يَشَاءُ وَيَهْدِي إِلَيْهِ مَنْ يُنِيبُ
Yang artinya :
“Dia telah mensyari'atkan bagi kamu tentang agama apa yang telah diwasiatkan-Nya kepada Nuh dan apa yang telah Kami wahyukan kepadamu dan apa yang telah Kami wasiatkan kepada Ibrahim, Musa dan Isa yaitu: Tegakkanlah agama dan janganlah kamu berpecah belah tentangnya. Amat berat bagi orang-orang musyrik agama yang kamu seru mereka kepadanya. Allah menarik kepada agama itu orang yang dikehendaki-Nya dan memberi petunjuk kepada (agama)-Nya orang yang kembali (kepada-Nya).”
Sehubungan dengan itu setiap rasul yang dating belakangan, disamping bertugas membawa syariat yang baru untuk umatnya, juga melakukan semacam penyempurnaan dan pembatalan syariat sebelumnya yang tidak diberlakukan lagi bagi umatnya. Hal ini memiliki arti bahwa apa yang harus dijalankan umatnya, diantaranya ada yang sama dengan syari’at umat sebelumnya da nada ketentuan syariat yang baru sama sekali.
Hal ini dibicarakan dalam ilmu Ushul Fiqh, agar kita mengetahui boleh tidaknya mengikuti peratuan-peraturan agama yang dibawa oleh Nabi-Nabi sebelum Nabi Muhammad SAW.
Pendapat Ulama tentang Syar’u Man Qablana
Sebelum lebih jauh mengemukakan perbedaan pendapat ulama tentang persoalan ini lebih dahulu ditegaskan, bahwa semua ulama sepakat, Syar’u Man Qablana yang tidak terdapat dalam Al-Qur’an maupun Sunnah, dengan sendirinya menjadi tidak berlaku bagi Nabi Muhammad SAW dan umatnya. Sebab syariat Nabi Muhammad SAW bersifat menggantikan syariat terdahulu.
Selanjutnya, para ulama juga sepakat, Syar’u Man Qablana yang tercantum dalam Al-Qu’an atau Sunnah dan secara tegas dinyatakan berlaku oleh Rasulullah SAW, keberlakuannya bukan karena kedudukannya sebagai Syar’u Man Qablana, melainkan karena disyariatkan oleh Al-Qur’an atau Sunnah Rasulullah SAW.
Adapun yang menjadi objek perbedaan pendapat ulama adalah, hukum dari masalah-masalah yang tidak secara tegas diberlakukan pada syariat Nabi Muhammad, ada juga yang tidak terdapat Nash yang me-nash-kannya atau membatalkannya. Dalam hal ini, terdapat dua kelompok pendapat ulama yang saling bertolak belakang tentang berlaku atau tidaknya Syar’u Man Qablana tersebut bagi Nabi SAW dan umat beliau. Pendapat-pendapat tersebut akan dijabarkan sebagai berikut :
Mayoritas Ulama Hanafiyyah, Ulama Malikiyah, sebagian Ulama Syafi’iyyah dan sebagian Hanabilah
Berpendapat Syar’u Man Qablana berlaku bagi umat Islam, jika syariat tersebut diinformasikan melalui Rasulullah SAW, bukan karena terdapat dalam kitab suci mereka yang telah mengalami perubahan, dan tidak terdapat nash Syara’ yang membantahnya. Dasar pendapat mereka adalah :
(Firman Allah SWT dalam surat Al-An’am : 90)
أُوْلَئِكَ الَّذِينَ هَدَى اللّهُ فَبِهُدَاهُمُ اقْتَدِهْ قُل لاَّ أَسْأَلُكُمْ عَلَيْهِ أَجْرًا إِنْ هُوَ إِلاَّ ذِكْرَى لِلْعَالَمِينَ ﴿٩٠﴾
Yang artinya : “Mereka itulah orang-orang yang telah diberi petunjuk oleh Allah, maka ikutilah petunjuk mereka. Katakanlah: "Aku tidak meminta upah kepadamu dalam menyampaikan (Al-Quran)". Al-Quran itu tidak lain hanyalah peringatan untuk seluruh ummat.” (QS. Al-An’am : 90)
Ayat diatas ditunjukkan kepada Rasulullah SAW agar mengikuti para Nabi dari Bani Israil. Oleh karena itu, syari’at mereka juga harus diikuti, selama tidak ada nash yang me-nash-kannya.
Ulama Asy’ariah, Mu’tazilah, Syi’ah, sebagian Ulama Syafi’iyyah dan mayoritas Ulama Hanabilah
Berpendapat, Syar’u Man Qablana, yang tidak ada ketegasan pemberlakuannya dan tidak pula ada nash yang me-nash-kannya, maka ia tidak berlaku bagi Nabi Muhammad dan umatnya. Dalil yang mereka kemukakan, antara lain, ialah :
(dalam Firman Allah SWT Surah Al-Maidah ayat 48)
وَأَنْزَلْنَا إِلَيْكَ الْكِتَابَ بِالْحَقِّ مُصَدِّقًا لِمَا بَيْنَ يَدَيْهِ مِنَ الْكِتَابِ وَمُهَيْمِنًا عَلَيْهِ فَاحْكُمْ بَيْنَهُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ وَلا تَتَّبِعْ أَهْوَاءَهُمْ عَمَّا جَاءَكَ مِنَ الْحَقِّ لِكُلٍّ جَعَلْنَا مِنْكُمْ شِرْعَةً وَمِنْهَاجًا وَلَوْ شَاءَ اللَّهُ لَجَعَلَكُمْ أُمَّةً وَاحِدَةً وَلَكِنْ لِيَبْلُوَكُمْ فِي مَا آتَاكُمْ فَاسْتَبِقُوا الْخَيْرَاتِ إِلَى اللَّهِ مَرْجِعُكُمْ جَمِيعًا فَيُنَبِّئُكُمْ بِمَا كُنْتُمْ فِيهِ تَخْتَلِفُونَ
Yang artinya :
"Dan Kami telah turunkan kepadamu Al Qur'an dengan membawa kebenaran, membenarkan apa yang sebelumnya, yaitu kitab-kitab (yang diturunkan sebelumnya) dan batu ujian terhadap kitab-kitab yang lain itu; maka putuskanlah perkara mereka menurut apa yang Allah turunkan dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu. Untuk tiap-tiap umat di antara kamu, Kami berikan aturan dan jalan yang terang. Sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat (saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap pemberian-Nya kepadamu, maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan. Hanya kepada Allah-lah kembali kamu semuanya, lalu diberitahukan-Nya kepadamu apa yang telah kamu perselisihkan itu." (QS. Al-Maidah : 48)
Ayat ini menegaskan bahwa setiap umat sudah ada syariatnya masing-masing, dan tidak diperintah untuk mengikuti syariat umat lainnya. Karena itu, Syar’u Man Qablana tidak berlaku bagi kita.
Setelah memperhatikan perdebatan kedua kelompok diatas, sebagai ulama ushul fiqh kontemporer, seperti: Khudari Baik, Abdul Wahhab Khallaf dan Zakiuddin Sya’ban lebih cenderung kepada pendapat kelompok pertama. Alasan-alasan mereka adalah:
Dengan tercantumnya Syar’u Man Qablana pada Al-Qur’an dan Sunnah yang Shahih maka ia termasuk didalam syariat Samawi.
Keberadaanya dalam Al-Qur’an dan Sunnah tanpa diiringi dengan penolakan dan tanpa nash menunjukkan bahwa ia juga berlaku sebagai syariah Nabi Muhammad SAW.
Sebagai implementasi dari pernyataan bahwa Al-Qur’an membenarkan kitab-kitab Taurat dan Injil.
Dari uraian pendapat-pendapat diatas, dapat disimpulkan, Syar’u Man Qablana tidak berdiri sendiri, melainkan baru dapat berlaku jika dikukuhkan dengan dalil-dalil Al-Qur’an dan Sunnah yang shahih, sekaligus tidak terdapat dalil yang menunjukkan bahwa ia telah mansukh.
Kehujjahan Syar’u Man Qoblana
Syariat umat sebelum kita kedudukannya ialah dapat menjadi syariat kita jika Al-Qur’an maupun Sunnah telah menegaskan bahwa syariat ini diwajibkan bagi mereka, yaitu orang-orang terdahulu dan juga kepada kita untuk mengamalkannya, seperti puasa dan qisash. Tetapi apabila Al-Qur’an dan Sunnah menegaskan bahwa syariat orang terdahulu tersebut telah dihapus hukumnya, maka tidak ada perselisihan lagi bahwa syariat orang terdahulu itu bukan syariat kita.
Seperti Nabi Musa AS, yang menghukum bahwa orang yang berdosa tidak dapat menebus dosanya kecuali ia harus membunuh dirinya sendiri, pakaian yang terkena najis tidak dapat disucikan kecuali ia memotong bagian yang terkena najis tersebut. Dua syariat tersebut tidak belaku bagi umat Nabi Muhammad SAW. Selain itu juga, terdapat beberapa perbedaan syariat orang-orang terdahulu dengan syariat kita seperti format ibadah.
Menurut Abu Zahrah ada beberapa ketentuan yang harus diperhatikan dalam melihat syariat orang sebelum kita, sehingga Syar’u Man Qoblana itu layak untuk diikuti atau ditinggalkan. Untuk memutuskan itu sedikitnya ada 3 hal yang harus jadi pertimbangan:
Syariat orang sebelum kita itu harus diceritakan dengan berdasarkan kepada sumber-sumber yang menjadi pedoman ajaran Islam. Yang tidak dinukil dari sumber Islam, maka tidak dapat dijadikan hujah bagi umat Islam. Demikianlah hasil kesepakatan para fuqaha.
Apabila syariat orang sebelum kita itu telah di-nasakh (dihapus), maka tidak boleh diamalkan. Demikian juga jika terdapat dalil yang menunjukkan kekhususan bagi umat terdahulu, maka syariat itu khusus untuk mereka dan tidak berlaku bagi kita seperti Allah mengharamkan sebagian daging bagi orang bani Israil.
Bahwa dikukuhkannya syariat itu berlaku untuk mereka (umat sebelum kita) dan juga berlaku untuk kita itu didasari oleh nas Islam bukan oleh cerita orang-orang terdahulu. Seperti kewajiban berpuasa Ramadhan. Hal ini dinukil bukan oleh cerita tetapi oleh Al-Qur’an yang secara tegas dalam surat al-Baqarah ayat 183 yang berbunyi:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
Yang artinya : “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa”, ( QS. Al-Baqarah : 183)
Adapun mengenai persoalan boleh tidaknya berhujah dengan syariat umat terdahulu sebelum Nabi Muhammad tersebut, ada hal-hal yang diperselisihkan dan adapula yang disepakati, dengan penjelasan sebagai berikut:
Hal-hal yang disepakati
Mengenai hukum-hukum agama sebelum Islam, yang ternyata telah dihapus oleh Islam, ulama telah sepakat tentang tidak bolehnya beramal dengannya.
Mengenai hukum-hukum agama sebelum Islam, yang mana syariat Islam (Al-Quran dan Hadits) telah menetapkan berlakunya hukum tersebut, para ulama sepakat tentang wajibnya setiap muslim mengamalkannya.
Hal-hal yang diperselisihkan
Yaitu nash Al-Qur’an atau teks ayat ataupun matan Hadits yang meriwayatkan tentang peraturan atau hukum agama-agama sebelum Islam, sedang nash atau teks atau matan hadits itu tidak secara tegas melarang kita mengikutinya. Sebagai contoh pada surah al-Maidah ayat 45 yang artinya: “Dan Kami wajibkan atas mereka (Bani Israil) dalam kitab Taurat, bahwa jiwa dibalas dengan jiwa, mata dengan mata, hidung dengan hidung, telinga dengan telinga, gigi dengan gigi, luka dengan luka, sebagai qiyas.” Sehubung dengan ayat tersebut, perbedaan pendapat para ulama terbagi menjadi dua golongan. Pertama, berpendapat bahwa yang demikian wajib diikuti dan diamalkan. Yang berpendapat demikian adalah golongan Hanafiyah, sebagian Malikiyah, dan Syafi’iyah. Adapun golongan kedua, berpendapat bahwa peraturan atau hukum agama-agama sebelum Islam tidak boleh kita amalkan.
Komentar
Posting Komentar