Hukum Penalaran

Dalam pembahasan ini akan dijabarkan mengenai tiga aspek yaitu aspek ontologis, epistemologis, aksiologis. Masing-masing aspek akan menguraikan latar belakang pencantuman : (1) Idealisme, Dualisme, Materialisme; (2) Intuisionisme, Rasionalisme, dan Empirisme; (3) Idealisme-etis, Deontologisme-etis, dan Teolgisme-etis sebagai sumbu-sumbu skematis dari setiap model penalaran.
1.    Aspek Ontologis
Aspek ontologis antara lain mempersoalkan apa yang merupakan hakikat dari realitas. Aspek ini pula yang menandai kelahiran pertama filsafat, yang diawali dari proyek kontemplatif thales (624-546 SM) tentag hakikat alam semesta. Dari berbagai sisi ada yang melihat inti realitas sebagai materi, sementara yang lain melihatnya sebagai ide (gagasan). Pandangan monistis yang hanya memilih salah satu dari alternatif diatas, ditentang oleh aliran Dualisme, yang mengatakan hakikat realitas justru keduanya sekaligus.
·         Materialisme berpendapat bahwa hakikat dari segala sesuatu yang “ada” itu adalah materi. Jiwa buknlah hakikat yang berdiri sendiri, melainkan akibat dari pergerakan benda-benda materi. Seperti pemikiran “atomisme” dari Demokritos (460-370 SM). Menurutnya atomlah wujud materi terkecil tersebut. Apa yang ada (materi) hanya mungkin munculdari yang ada (materi juga). Tidak mungkin sesuatu yang tidak eksis (non-materi) dapat menghadirkan sesuatu yang materi.
Dalam filsafat Timur,  materialismejuga sudah menjadi dasar falsafah yang cukup berpengaruh, seperti Charvakah di India pada abad ke-7 SM. Materialisme kemudian terus berkembang dalam berbagai versi pemikiran, seperti Materialisme-rasionalistis, Materialisme-parsial, Materialisme-antropologis, Materialisme-dialektis, atau Materialisme-historis.
·         Idealisme berpendapat bahwa hakikat “pengada” itu justru unsur rohani (spiritual). Rohani adalah adalah dunia ide, bukan dunia materi. Ide lebih hakiki dibandingkan materi karena yang disebutkan terakhir ini hanyalah penjelmaan dari yang pertama. Idealisme yang pertama berpendapat bahwa segala sesuatu yang lahir dari aktivitas mental yang tunduk pada hukum kualitas. Idealisme jenis kedua juga meyakini adanya aktivitas mental serupa. Hanya saja, aktivitas itu tidak tidak tunduk pada hukum sebab-akibat, melainkan pada ketergantungan eksistensi lainnya. Idealisme juga dibagi kepada beberapa kategori yaitu Idealisme-absolut, Idealisme-subjektif, Idealisme-transendental, Idealisme-epistemologis, Idealisme-personal, Idealisme-etis, dan sebagainya.
Plato adalah filsuf yang berjasa menjelaskan secara sederhana aliran berpikir ini, ia menyatakan, materi itu bisa saja berubah atau bahkan musnah, tetapi ide tentang materi tersebut tidak hilang. Seperti kuda misalnya, dapat berbeda-beda warna, berat, dan penampakannya, atau menjadi tua, sakit, dan mati. Kendati “materi” kuda sudah tidak lagi eksis, ternyata ide tentang kuda itu tetap abadi.
·         Dualisme lahir dari Thomas Hide (sekitar tahun 1700) , Aliran berpikir ini berpendapatbahwa hakikat “pengada” dalam alam semesta ini terdiri dari dua sumber sekaligus, yaitu materi dan rohani. Dualisme menjadi pandangan yang menarik karena dapat dijelaskan langsung keberadaannya pada diri manusia, walaupun begitu, Dualisme dinilai tidak mampu menjawab pertanyaan tentang kesesuaian antara materi dan ide, bagaimana dan siapa yang membuat kedua realitas itudapat berkesesuaian.
Semua wujud realitas di alam semesta pada dasarnya dapat dijadikan objek contoh untuk menjelaskan ketiga pendekatan ontologis tersebut. Polemik sekitar aspek ontologis hukum dapat dirumuskan dengan kalimat sederhana yaitu, apakah hukum itu termasuk dalam kriteria materi,ide, atau keduanya sekaligus? Mengacu pada pemahaman Cicero tentang hukum, bahwa disatu sisi hukum menyatu dengan masyarakat, dan disisi lain hukum juga merupakan akal budi alamiah dan manusiawi, menunjukan adanya keterkaitan konsep hukum dan konsep kebudayaan manusia. Dan semua aspek ontologis tersebut dialirkan kepada satu kata “kebudayaan”. Hukum tidak hanya sekedar produk politik, tetapi produk kebudayaan manusia.  Selo Soemardjan mengartikan kebudayaan sebagai keseluruhan hasil cipta, rasa,dan karya masyarakat yang dimanfaatkan menurut karsa masyarakat tersebut.
·         Cipta adalah kemampuan berpikir yang dapat menghasilan pengertian-pengertian abstrak seperti teori, filsafat, pandangan hidup dan bahasa.
·         Rasa meliputi dua bidang, yakni (1) rasa yang bersumber pada pancaindera dan dengan keharusannya menghasilkan seni yang indah, dan (2) rasa kejiwaan yang mampu menimbulkan nilai-nilai budaya untuk membedakan antara yangluhur dan jahat.
·         Karya adalah kemampuan masyarakat untuk memanfaatkan kekuatan-kekuatan yang tersembunyididalam alam dan masyarakat untuk memenuhi keperluan manusia.
·         Karsa adalah kehendak, kemauan, dan keinginan, baik yang bersifat luhur maupun jahat.
Koentjaningrat kemudian membagi perwujudan kebudayaan itu kedalam tiga bentuk, yaitu :
a)      Suatu kompleks dari ide-ide, gagasan, nilai-nilai, norma-norma, peraturan-peraturan, dan sebagainya.
b)      Suatu kompleks aktivitas kelakuan berpola dari manusia dalam masyarakat
c)       Benda-benda hasil karya manusia
Ketiga pemaknaan kebudayaan tersebut mengingatkan pada batasan yang kurang lebih sama dengan yang diberikan oleh Clifford Geertz. Menurutnya kebudayaan adalah sebuah pola makna-makna atau ide-ide yang termuat dalam simbol-simbolyang dengannya masyarakat menjalani pengetahuan mereka tentang kehidupan dan mengekspresikan kesadaran mereka melalui simbol-simbol itu.
Konsep yanglebih menarik lagi disampaikan olehBernardo Bernadi, yang kemudian direduksi oleh Soerjanto Poespowardojo, dengan membagi fenomena kebudayaan dalamempat faktor dasar, yaitu anthropos, oikos, tekne, dan ethnos.
a)      Faktor anthropos berkaitan dengan manusia. Pada dasarnya manusia bukanlah makhluk rasional yang mudah selesai dan sempurna. Artinya, manusia perlu nerkarya agar dapat membuat dunianya lebih bermakna.
b)      Faktor oikos yakni limgkungan alam tempat manusia melakukan proses kreatiitsnya.lingkungan inilah yang menjadi medan perjuangan manusia sehingga muncul hubungan struktural antar manusia dan alam sekitarnya.
c)       Faktor tekne yaitu peralatan yang digunakan manusia sebagai perpanjangan tangan untuk membantunya mengolah kehidupan ini.
d)      Faktor ethnos yaitu manusia sebagai komunitas . kebudayaan pada dasarnya merupakan produk komunal. Ia lahir sebagai hasil interaksi individu-individu yang mendukungnya.
Keseluruhan deskripsi di muka menunjukkan bahwa aspek ontolologis dari hukum benar-benar kompleks. Hukum tidak dapat direduksi sekedar menjadi produk politik. Ia adalah produk kebudayaan manusia, baik sebagai makhluk individu maupun makhluk sosial. Dalam koridor berpikir demikian maka tentang hakikat hukum tersebut berada dalam dimensi materialissekaligus idalis.
2.    Aspek Epistimologis
Manusia dapat mengembangkan pengetahuannya karena memiliki dua modal utama, yaitu bahasayang komunikatif dan kemampuan berpikir menurut kerangka tertentu. Dengan dua modal tersebut manusia dapat melakukan kegiatan berpikir (kognitif) untuk menemukan pengetahuan yang benar. Proses kegiatan berpikir ini disebut dengan penalaran.
Penalaran adalah suatu jenis kegiatan yang dapat dibedakan dengan jenis lainnya, seperti mimpi, imajinasi, ingatan, intuisi, membayangkan, mengamati, menginderai, menekan perasaan, melarang, mengontrol, menyeleksi, menipu. Adalah mungkin menurut Lorens Bagus bahwa suatu unsur atau bentuk penalaran tercakup dalam tiap-tiap hal tersebut sehingga penalaran dapat digunakanuntuk bermacam-macam tujuan yaitu menipu, membantah, berdebat, meragukan, mengajak, menyatakan, menjelaskan, meminta maaf, rasionalisasi,dan sebagainya.
·         Empirisme, brasal dari kata empirik yang berati pengalaman (empiria). Empiris adalah aliran dasar dalam epistemologi yang menganggap bahwa satu-satunya sumber pengetahuan bagi manusia adalah pengalaman, tepatnya melalui objek inderawi.
Kebenaran menurut Empirisme berangkat dari pendekatan teori korespondensi. Menurut teori ini, suatu pernyataan adalah benar apabila materipengetahuan yang dikandung pernyataan itu berkorespondensi (berhubungan) dengan objek yang dituju oleh pernyataan tersebut. Empirisme juga mengembangkan teori kebenaran yanglain yang disebut teori pragmatis, dengan tokohnya antara lain Charles S. Peirce (1839-1914) kebenaran menurut teori ini muncul dari proses pembuktian empiris dalam bentuk pengumpulan fakta-fakta yang didukung suatu pernyataan tertentu.
Pendekatan induktif yang digunakan empiris ditentang oleh aliran berpikir rasionalisme.
·         Rasionalisme adalah aliran epistimologis yang menganggap sumber pengetahuan satu-satunya adalah rasio (akal budi) . rasionalisme sendiri tidak menolak besarnya manfaat pengalaman inderawi dalam kehidupan manusia. Namun, persepsi inderawi hanya digunakan untuk merancang kerja akal.
Descrates (1596-1650) adalah tokoh penting dalam Rasionalisme. Ia melihat realitas sebagai substansi yang terdiri dari dua macam yaitu (1) ide,gagasan, pikiran, atau kesadaran, dan (2) materi atau perluasan. Kesadaran tidak terikat pada ruang dan waktu, namun sebalinya dengan perluasan. Oleh karena itu, Descrates berkeyakinan bahwa diluar kesadaran hanyalah perluasan semata. Eksistensi manusia pun ditentukan oleh kesadarannya. Keyakinan ini disampaikan dengan selogannya yang terkenal “Cogito Ergo sum!  (aku berpikir maka aku ada).

·         Adapula aliran positivisme , Positivisme sendiri dikembangkan pertama kali olehAuguste Comte (1798-1857). Tokoh ini dikenal sebagai pencetus Hukum Tiga Tahap ( Law of Three Stages ). Pemikiran Auguste Comte ini diklaim sebagai “jembatan” antara Rasionalisme Descartes dan Empirisme Bacon. Pengertian menurut Comte terdiri dari beberapa kemungkinan, yakni :
a)      Sebagai lawan atau kebalikan suatu yang bersifat khayal, maka pengertian “positif” pertama-tama diartikan sebagai pensifatan sesuatu yang nyata. Yaitu sasarannya didasarkan pada kemampuan akal,sedang hal-hal yang tidak dijangkau oleh akal tidak dijadikan sasaran penyelidikan.
b)      Sebagai lawan atau kebalikan suatu yang bermanfaat, maka pengertian “positif” diartikan sebagai pensifatan suatu yang bermanfaat. Sesuai dengan ajaran filsafat positivisme,  yaitu filsafat tidaklah berhenti pada pemenuhan keinginan manusia untuk memperoleh pengetahuan atau mengenai pengertian sesuatu saja.
c)       Sebagai lawan dari sesuatu yangmeragukan, maka pengertian “positif” diartikan sebagai pensifatan sesuatu yang sudah pasti.
d)      Sebagai lawan atau kebalikan sesuatu yang bersifat kabur, maka pengertian “positif” diartikan sebagai pensifatan sesuatu yang jelas atau tepat.
e)      Sebagai lawan dari sesuatu yang negatif, maka pengertian “positif” dipergunakan menunjukan sifat-sifat pandangan filsafatnya, yang selalu menunjukkan kearah penataan atau penerbitan.
3.    Aspek Aksiologis
Jika sebuah tindakan dilatarbelakangi oehmotivasi (kehendak), maka tentu menjadi pertanyaan besar di belakangnya tentang ada tidaknya kebebasan dalam kehendak manusia. Tentu saja yang dimaksud dengan tindakan ini adalah terutama dalam kaitannya dengan tindakan manusia dalam melakukan penalaran, mencari pengetahuan. menurut paham jabariyah, kelihatannya saja manusia memiliki kemauan untuk berbuat baik dan buruk, tetapi sebenarnya ia tidak memilikinya sama sekali. Tenaga pada manusia itu tidak lain adalah amnifestasi tenaga tuhan dan ia sama sekali dikendalikan atau beradaan dalam paksaan tuhan. Cara berpikir seperti ini berhadapan dengan pandangan sebaliknya tentang independensi perilaku manusia. Aliran qadriyah tidak mengingkari adanya pengendalian-Nya atas manusia, tetapi pengendalian itu hanya dalam arti menciptakan, memelihara, menggerakkan, atau mengembangkan segenap ciptaan-Nya menurut hukum-hukum yang tertib dan tepat.
Dalam aspek aksiologis dapat diasumsikan bahwa manusia adalah makhluk yang independen, berkehendak bebas. Terdapat beberapa aliran pemikiran yang menelaah aspek aksiologis dari tindakan manusia.
·         Idealisme-etis adalah aspek aksiologis yang meyakini bahwa ukuran baik-buruk dalam bertindak diterapkan oleh nilai-nilai spiritual.
Menurut Kant, manusia adalah makhluk berbudi yang tidak sempurna. Itulah sebabnya ia tidak senantiasa mampu bertindak menurut prinsip-prinsip objektif karena mereka terjebak pada keinginan atau dorongan irasional.
·         Imperatif, Terdapat dua macam imperatif, yaitu imperatif hipotesis dan imperatif kategoris.
Imperatif hipotesis adalah perintah bersyarat yaitu tujuan-tujuan tertentu yang mau dicapai. Imperatif hipotesis menyatakan keharusan praktis suatu tindakan yang mungkin sebagai sarana untuk mencapai tujuan. Sedangkan imperatif kategoris yaitu suatu tindakan yang secara objektif mutlak perlu pada dirinya sendiri, tanpa mengacu tujuan tertentu. Immanuel Kant nberpendapat bahwa yang terbaik dalam tindakan manusia adalah imperatif kategoris bukan imperatis hipotesis.
·         Egoisme-etis adalah suatu teori etika yang menyatakan bahwa satu-satunya tolak ukur mengenai baik-buruk suatu tindakan seseorang adalah kewajiban untuk mengusahakan kebahagiaan dan kepentingannya diatas kebahagiaan orang lain.




Sumber : Shidarta , Hukum Penalaran dan Penalaran Hukum; Yogyakarta ; Genta Publishing. 2013

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Biografi dan Perjalanan Hidup Ibnu An-Nafis

Syar'u Man Qablana

Model-Model Penalaran Hukum