Penalaran Hukum Dalam Konteks KeIndonesiaan
1.
Aspek Ontologis
Aspek Ontologis yang dikemukakan disini terkait
dengan pertanyaan tentang pemaknaan hukum dalam konteks keindonesiaan. Telah dijabarkan
betapa luasnya pemaknaan hukum itu, yang pada intinya dapat berupa
1)
Asas kebenaran dan keadilan
2)
Norma positif dalam sistem perundang-undangan
3)
Putusan hakim in concreto
4)
Pola perilaku yang terlembagakan
5)
Manifestasi makna-makna simbolis perilaku sosial.
Secara ontologis, hakikat hukum yang dipersepsikan
secara umum dalam penalaran hukum di Indonesia adalah hukum sebagai norma
positif dalam sistem perundang-undangan. Kesimpulan ini dapat ditarik dari
perspektif makro, yakni dari sistem hukum Indonesia, dan secara mikro yakni dari
kasus Kedung Ombo. Pengolahan bahan hukum ini menurut B. Arief Sidhrata,
dilakukan dengan selalu mengacu kepada keadilan dan konteks kesejarahan dan
kemasyarakatan. Dengan demikian penalaran hukum secara ontologis harus
membebaskan diri dari pemaknaan hakikat hukum hanya sekedar sebagai norma
kaidah sistem perundang-undangan.
Moh. Mahfud M.D menyatakan bahwa pada kedua
periode ini produk hukum atau undang-undang yang dihasilkan pada umumnya
bersifat konservatif, ortodoks, atau elitis. Produk hukum yang berkarakter
seperti itu lebih mencerminkan keinginan pemerintah. Penelitian yang dilakukan
oleh Moh. Mahfud M.D menunjukkan bahwa konfigurasu hukum yang sebenarnya
relatif demokratis pada periode 1945-1959 mulai ditarik kearah berlawanan,
yakni menjadi otoriter. Dalam kasus kedung kombo “otoritarian” diatas tentu
dilandasi olehsuatu motivasi tertentu. Oleh karena itu ditinjau dari
model-model penalaran hukum, sikap pemerintah pada era orde lama dan orde baru
sebenarnya tidak sepenuhnya mencerminkan positivisme hukum yang murni seperti
gagasan orisisnil seperti dikemukakan Hans Kelsen.
Apa yang ditunjukan dalam kasus kedung ombo
dibawah memperkuat sinyal elemen ini. Sebagai contoh, pasal 66 Undang-undang
No. 14 tahun 1985 tentang mahkamah agung menegaskan bahwa permohonan peninjauan
kembali tidak menangguhkan atau menghentikan pelaksanaan putusan pengadilan dan
dapat dicabut selama belum diputus serta hanya dapat diajukan sekali saja.
Putusan kasasi zaenal asikin dapat saja dalam beberapa segi merupakan bentuk
pengecualian pemaknaan hakikat hukum yang jarang terjadi sepanjang sejarah
peradilan di Indonesia sejak era orde lama,sekalipun ia tetap menggunakan
dasa-dasar peraturan perundang-undangan sebagai sumber hukum pertama “judex non
redit plus quam quod petens ipse requiret”( a judge do nots give more than what
the complaining party himself demands). Langkah
Zaenal Asikin ini justru pada akhirnya kontraproduktif bagi warga pencari keadilan,
sebab amar putusan demikian merupakan alasan pengajuan peninjauan kembali yang
memperpanjang proses peradilan itu sendiri.
2.
Aspek
Epitemologis
Ketika Hakim Agung Zaenal Asikin menerima tugas
mengadili kasus ini ditingkat asasi, ia harus mempelajari kasasi dan
kontra-memori kasasi yang diajukan masing-masing pihak. Zaenal asikin
mengidentifikasi fakta-fakta yang tercantum dalam berkas berkas itu. Ia juga
menghubungkan struktur kasus tersebut dengan sumber-sumber yang relevan,
sehingga ia dapat menetapkan perbuatan hukum yang dipersoalkan disini termasuk
dalam kategori “perbuatan melawan hukum oleh pemerintah”
Hakim Agung Purwoto S. Gandasubrata juga melakukan langkah-langkah penalran hukum
yang sama dengan mempelajari memori PK dan kontra-memori PK. Menurut purwoto
kata-kata “tidak dapat diterima” ini berbeda dengan “gugatan ditolak” secara
simbolis purwoto ingin mengatakan bahwa dalam kasus ini ia tidak memenangkan
pemerintah, melainkan hanya tidak menerima gugatan warga kedumpring terhadap
pemerintah Apa yang menjadi argumentasi purwoto pun tidak sejalan dengan
penalaran sederhana masyarkat dan perasaan keadilan masyarakat pada umumnya. Sesuatu
yang sebenarnya mutlak dipertimbangkan oleh hakim.
Dari aspek epistemologisnya,kedua putusan berbeda
180 derajat tersebut meninggalkan pertanyaan. Perbandingan beberapa hal dalam
putusan kasasi Zaenal Asikin Kusumah Atmadja dan putusan (PK) Purwoto S.
Gandasubrata yaitu, (1) ada tidaknya musyawarah, (2) hakim mengabulkan lebih
daripada yang diminta, dan (3) sumber hukum yang digunakan.
a. Ada
Tidaknya Musyawarah
Pada putusan tingkat kasasi, zaenal asikin
menyatakan bahwa musyawarah untuk mencapai kesepakatan harga, secara material
belum pernah dilakukan. Secara formal memang undangan bagi para penduduk untuk
hadir, tetapi yang terjadi pada saat itu bukanlah musyawarah dalam arti
sebenarnya. Melainkan penduduk diintimidasi. Jika musyawarah belum diadakan
berarti pembebasan tanah pun belum memenuhi syarat. Jika “kesepakatan” ganti
rugi yang sebenarnya ditetapkan sepihak itu dipaksakan, hal ini menunjukan pemerintah
telah perbuatan melawan hukum. Dengan demikian menurut penalaran Zaenal Asikin
berdasarkan keadilan seharusnnya ia mengambil posisi berdiri untuk menyatakan
kesepakatan ganti rugi itu tidak memenuhi syarat.
Menurut versi pemerintah, keterangan warga kedupring
ini merupakan kebohongan. Adanya kebohongan ini merupakan salah satu alasan
dimintakannya kembali. Menurut pasal 67 terdapat ada enam alasan pengajuan PK. Jika
disusun sebagai suatu argumentasi,maka pasal 67 ini mengambil bentuk dasar
argumen-argumen yang bebas. Artinya, masing-masing argumen secara terpisah
sudah cukup mendukung titik berdiri. Pola penalaran dari puworto bersifat
top-down, mencerminkan model penalaran positivisme hukum, dengan semata
mengambil dasar hukum undang-undang sebagai sumber satu-satunya.
Majelis Hakim PK menolak untuk memeriksa masalah
ini. Jika dihubungkan dengan amar putusannya yaitu “gugatan para penggugat
tidak dapat diterima” maka berarti materi permasalahan “musyawarah”
dibiarkannya tidak terselesaikan sehingga para penggugat dipersilakan menggugat
ulang diperadilan negeri. Logika masyarakat awam akan mengatakan bahwa jika
masyarakat dipersilakan menggugat kembali dari awal, maka seharusnya baik pihak
penggugat maupun tergugat belum ada yang dimenangkan.
b. Hakim
Mengabulkan Lebih daripada yang Diminta
Larangan hakim untuk mengabulkan guagatan lebih
daripada yang diminta, khususnya dalam perkara perdata, dikenal sejak lama
dalam doktrin hukum dan diterima sebagai maksim hukum yang universal atau kerap
disebut asas ne ultra petita. Oleh karena itu apa yang dilakukan oleh zainal
asikin sepatutnya menarik perhatian para penstudi hukum, karena sebagai guru
besar hukum perdata dan hakim senior dijajaran mahkamah agung, tidak mungkin
keputusanya untuk melanggar asas dan norma hukum positif tersebut tidak
dilakukannya dengan sengaja.
Termasuk penetapan berapa niali ekonomi dari
perkara itu. Dengan sendirinya yang paling mengetahui seberapa besar kerugian
yang layak untuk diperkirakan adalah para pihak itu sendiri, sehingga sangat
logis jika hak menetapkan nilai ganti rugi maksimal diberikan ke pihak
penggugat. Secara umum putusan kasasi zaenal asikin memang dapat dinilai
berpihak kepada warga kedungpring, namun dengan dilanggarnya secara sengaja
ketentuan hukum positif itu” kemenangan” warga tadi menjadi tidak berarti sama
sekali. Bagi zaenal asikin, jika ganti rugi ysng diberikan sampai menyebabkan
warga kedungpring tidak dapat memperoleh hidup yang lebih layak hal itu justru
bertentangan dengan hukum, termasuk bertentangan dengan jiwa peraturan
perundang-undangan yang diacu(permendagri No. 15 tahun 1975).
Perdebatan yuridis ini menarik bagi para penstudi
hukum, tetapi jela tidak realitas dalam logika masyarakat awam. Apabila asa
“res jurucata pro veritate habetur”(putusan hakim harus dianggap benar) dipakai
sebagai dasar pijakan,maka berarti putusan terakhir(purwoto) itulah yang
dijadikan pegangan “kebenaran yuridis” dan sebaliknya dengan putusan Zaenal
Asikin.
c. Sumber Hukum yang Digunakan
norma perundang-undangan yang sejak awal dijadikan
acuan oleh zaenal asikin adalah Permendagri No. 15 Tahun 1975. Zainal asikin
bersikeras untuk tetap menggunakan peraturan lama, dengan menggunakan alasan
yang biasa dikemukkan kaun psitivis, yaitu asas” undang-undang tidak berlaku
surut”. Alhasil pertanyaan yang penting diajukan disini adalah “menguntungkan
bagi siapa?” dalam hukum pidana, jawaban terhdap pertannyaan ini lebih mudah
diberikan karena pasal 1 Ayat(2) Kitab Undang-undang Hukum Pidana secara tegas
menyebutkan keuntungan harus dilihat dari sanksi yang paling ringan bagi
terdakwa.
Dari posisi tersebut, jelas tidak mungkin untuk
menerapkan bahwa subyek yang lebih diuntungkan sebagaimana dimaksud oleh asas
itu adalah si termohon. Pihak termohon adalah pemerintah , yang notabene dalam
sistem hukum Indonesia juga berwenang menetapkan peraturan perundang-undangan.
Dengan kewenangan yang dimilikinya, pemerintah tentu dapat merekayasa perubahan
peraturan yang menguntungkan dirinya di tengah proses perkara yang melibatkan
dirinya.pihak yang palng lemah osisinya. Dalam kasus kedung ombo ini, pihak itu
adalah warga kedungpring.
Zaenal asikin menyimpulkan Permendagri No. 15
Tahun 1975 lebih menguntungkan bagi warga kedungpring sementara purworto
berpendapat justru keppres No. 15 Tahun 1993 yang lebih menguntungkan warga.
Argumen yang dikemukakan oleh masing-masing pihak berangkat dari premis yang
berbeda. Perihal peraturan yang paling menguntungkan bagi warga sebenarnya
menjadi mudah untuk diketahui jika hal itu ditanyakan pada warga sendiri.
Pertimbangan yang sangat positivistis juga
dimunculkan dalam dua isu berikutnya. Pada saat membahas tentang sumber yang
digunakan dalam putusannya. Apabila setelah mendengar purwoto itu ada warga
kedungpring bernama darsono sampai menyatakan “ kalau MA bisa membikin baru
lagi, tak usah menggugat saja” pilihan yang ditawarkan puworto sangat tidak
realitis karena dengan memulai kembali kasus ini dari awal purwoto teah
menghadapkan warga kedugpring kepada hal yang tidak menguntungkan.
Pertama, warga praktis tidak mempunyai
kemampuandan kesabaran lagi untuk memproses kasus ini dari awal. Hal inijelas
bertentangan dengn asas peradilan yang cepat, sederhana, dan biaya yang murah
seperti diletakkan olehundang-undang. Kedua, hak-hak warga termasuk status
kepemilikan tanah dan bangunan mereka tidak lagi sama dengan keadaan seperti
saat mereka dulu menggugat pertama kali di pengadilan negeri. Ketiga, penggunaan
Keppres No.55 tahun 1993 juga dapat dibantah dengan asas undang-undang tidak
berlaku surut.
3.
Aspek Aksiologis
Aspek aksiologis dari penalaran hukum pada
hakikatnya sama dengan tujuan hukm itu sendrir. Untuk konteks keindonesiaan rupanya
aspek aksiologis tersebut mendapat elaborasi yan menarik karena dihubungkan
dengan cita hukum pancasila. Tujuan hukum sendiri berdasar cita hukum Pancasila
adalah untuk memberikan pengayoman kepada manusia, yakni melindungi manusia
secara pasif dengan mencegah tindakan sewenang-sewenang, dan secara aktif
dengan menciptakan kondisi kemasyarakatan berlangsung secara wajar sehingga
secara adil tiap manusia memperoleh kesempatan yang luas dan sama untuk
mengembangkan selurus potensi kemanusiaannya secara utuh.
Menurut B. Arief Sidharta, rumusan tenatng
pengayoman hukum mencakup juga tujusn untuk memelihara dan mengembangkan “budi
pekerti kemanusiaan serta cita-cita rakyat yang luhur berdasarkan Ketuhanan
Yang Maha Esa. Pelaksanaan pengayoman itu dilakukan dengan usaha mewujudkan
1)
Ketertiban dan keteraturan yang memunculkan
prediktabilitas
2)
Kedamaian yang berketentraman
3)
Keadilan ( distributif, komunikatif, vindikatif,
protektif )
4)
Kesejahteraan dan keadilan sosial
5)
Pembinaan akhlak luhur berdasarkan Ketuhanan Yang
Maha Esa.
Sumber : Shidarta, Hukum Penalaran dan Penalaran Hukum; Yogyakarta; Genta Publishing; 2013.
Komentar
Posting Komentar