Aspek Aksiologis Dalam Karakteristik Penalaran Hukum
Aspek Aksiologis
Penalaran hukum
itu diibaratkan sebagai (legal reasoning) yang secara sederhana disimpulkan
sebagai kegiatan berfikir problematis tersistematis (gesytematiseerd
probleemdenken) dari subjek hukum (manusia) sebagai mahluk individu dan sosial
dalam lingkaran kebudayaan. Berangkat dari pemikiran Ter Heide, ia menjelaskan
bahwa penalaran hukum memang penalaran yang berbasis masalah (problem based
thingking), dan masalah-masalah itu berasal dari peristiwa konkret yang terjadi
akibat interaksi kepentingan manusia yang satu dengan manusia yang lain,
ungkapan ini sekaligus menerangkan karakteristik dari hukum. Penalaran memang
sebuah kegiatan berpikir, yang berarti senantiasa melibatkan rasio (akal budi)
di dalamnya, namun tidak semua problema konkret dapat dengan mudah dipecahkan
dengan kerangka berpikir rasional.
Dalam hukum alam
yang dikenal law of nature terdapat konsep bahwa penyimpangan terhadapnya
menunjukkan kesalahan pada hukum alam tersebut, artinya jika hukum alam itu
dilanggar maka yang salah adalah hukum alam tersebut. Seperti matahari yang
terbit dari timur dan terbenam di barat itu sudah menjadi ketentuan dari hukum
alam, jikalau matahari itu terbit dari barat dan terbenam di timur, maka ada
kesalahan yang terjadi pada alam, artinya yang menjadikan ia salah adalah hukum
alamnya. Kemudian timbul pertanyaan, jika hukum positif dilanggar, lalu siapa
yang harus dipersalahkan?.
Sedikit mengulas
tentang hukum positif, hukum positif adalah hukum yang dibuat oleh manusia yang
mewajibkan atau menetapkan suatu tindakan, ketetapan disini dapat
dideskripsikan dengan hak-hak tertentu untuk suatu individu atau kelompok.
Secara sempit
pertanyaan itu dapat dijawab dengan menyatakan bahwa hukum alam bersifat
deskriptif (menunjukkan apa adanya), sedangkan hukum positif bersifat
preskriptif (menunjukkan ketentuan resmi yang berlaku). Untuk menjelaskan lebih
jauh harus disepakati dahulu bahwa penalaran hukum adalah penalaran yang
dilakukan manusia untuk diabdikan kepada kemanusiaan, semua kasus konkret yang
menjadi bahan penalaran hukum adalah kasus yang berdimensi kemanusiaan. Maka
jika sudah bersangkutan dengan kemanusiaan maka kasus ini mencangkup harkat dan
martabat seseorang sebagai manusia, tidak hanya bentuk pisikis dan fisik saja.
Jika dilihat
penalaran huku dari kacamata ilmu hukum dogamtis terdapat sedikit koherensi
dari keduanya. ilmu hukum dogmatis dapat disebut juga dogmatika hukum yang
objek hukumnya adalah norma-norma yang terkandung dalam hukum positif, norma adakalanya
tertulis seperti undang-undang, dan adakalanya tidak tertulis seperti
kebiasaan, adat istiadat, dan keyakinan hukum masyarakat. Jadi hukum positif
juga merangkap sistem yang kompleks sebagai aturan-aturan dan
kewenangan-kewenangan, yang satu sama lain saling terkait dalam suatu bangunan
logis dari jiwa manusia. Sistem ini terus-menerus bergerak, dan tidak pernah
selesai, seperti semacam obor yang dibawa kemana-mana dan dapat menerangi
sekeliling, inilah gambaran pergerakan hukum positif.
Aspek aksiologis
dari penalaran hukum adalah deontologis-etis yaitu menilai baik buruk sebuah
tindakan dari sudut tindakan itu sendiri, bukan dari akibatnya. Sesuatu
dianggap baik apabila sesuai dengan aturan norma hukum postif. Konsep ini
diterapkan dalam model penalaran positivisme hukum. Kemudian diikuti oleh
teleologisme-etis yaitu menilai baik buruk sebuah tindakan dari sudut tujuan
dan akibatnya. Sesuatu dianggap baik apabila tujuan dan akibatnya sesuai dengan
norma hukum yang berlaku. Konsep ini diterapkan dalam model penalaran
utilitarianisme. Kiranya model penalaran ini perlu diperbandingkan secara
khusus, agar berguna untuk menjawab pertanyaan diatas, jika hukum positif
dilanggar siapa yang harus dipersalahkan?.
Norma hukum
memuat asumsi tentang kebenaran, asumsi inilah yang memberi legitimasi bahwa
norma positif dalam sistem perundang-undangan secara moralitas memenuhi syarat
untuk dilaksanakan. Dalam hal ini, dimensi logika dan etika menjadi satu,
kebenaran logis adalah juga kebemaran etis. Hali inilah yang terus diupayakan
terus menerus oleh ilmu hukum dogmatis. Namun, sebenarnya aspek aksiologi
penalaran hukum tidak cukup dengan argumentasi yang logis semata, ilmu hukum
dogmatis adalah ilmu praktis yang dekat dengan kenyataan-kenyataan sosial.
Untuk dapat
membantu ilmu hukum dogmatis memperkaya dimensi aksiologisnya maka diperlukan
kerja multidisipliner, selain pendekatan kepastian hukum (deontologisme-etis)
juga harus mempertimbangkan tujuan keadilan (idealisme-etis), dan
kemanfaatannya (teleologisme-etis). Penerapan hukum yang mengejar
aspekvaksiologis kepastian semata, hanya akan mendapatkan penderitaan, kecuali
diimbangi dengan nilai-nilai moral yang kuat.
Kesimpulannya
dari uraian di atas, tidak sepenuhnya benar menyatakan bahwa jika ada kesalahan
terhadap norma positif, maka yang salah adalah manusianya (pelanggar).
Pertimbangan kemanusiaan dalam tataran ilmu hukum dogmatis sekalipun, tidak
serta merta tersimpulkan demikian. Jawaban dimuka menjadi sangat relatif karena
ada asas tiada pidana tanpa kesalahan (green straaf zonder schuld) yang
diterapkan dan sudah lama diadopsi dalam tataran hukum positif pada semua
sistem hukum, kepanjangan dari hal ini menimbulkan asas praduga tak bersalah.
“Setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut, atau dihadapkan di
depan pengadilan wajib dianggap tidak bersalah sebelum ada putusan
pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan telah memperoleh kekuatan hukum tetap.”
terdapat dalam UU Kehakiman, asas praduga tak bersalah diatur dalam Pasal
8 ayat (1). Artinya yang dapat dipersalahkan itu bisa saja manusia si pelaku
pelanggaran, seperti umumnya dalam kacamata ilmu hukum dogmatis, atau justru
bukan siapapun. Untuk hal yang disebutkan terakhir ini, misalnya karena yang
bersangkutan dinilai tidak mampu bertanggung jawab atau karena negara
menerapkan asas oportunitas yaitu kesempatan untuk mempergunakan manfaat yang
baik guna kepentingan masyarakat dalam kehidupan hukum.
Komentar
Posting Komentar