Aspek Ontologis Dalam Karakteristik Penalaran Hukum


Aspek ontologis

Hermeneutika dan Konstruktivisme Kritis menampilkan dimensi ontologis akibat adanya kesenjangan antara materi dan ide (gagasan). Pergulatan dualistis ini juga terjadi pada Sociological Jurisprudence. Rasionalisme Kritis sebagai suatu model penalaran dalam epistemologis memang juga menunjukkan dualisme demikian, namun ia tidak memberi tekanan bahwa permasalahan itu harus muncul karena kesenjangan antara materi dan ide.

Ilmu hukum mempresentasikan aspek ontologis penalaran akibat kesenjangan dari dualisme tadi. Bedanyan dengan model penalaran yang ditawarkan oleh Konstruktivisme Kritis, ilmu hukum justru lebih berkonsentrasi untuk mengatasi permasalahan yang konkret, bukan berada dalam tataran ilmiah.
Penalaran hukum adalah kegiatan berpikir, produk dari penalaran ini adalah keputusan yang menawarkan alternatif-alternatif solusi, yang pada gilirannya digunakan untuk mengatasi suatu problema kemanusiaan. Bukan dalam hal umum, Penalaran hukum memfokuskan diri pada permasalahan dibidang hukum saja. Oleh sebab itu subjek yang melakukan penalaran ini pasti adalah subjek hukum. Pada prinsipnya, permasalahan hukum ini adalah permasalahan subjek hukum sebagai makhluk pribadi dan sosial.

Subjek hukum yang melakukan penalaran harus benar-benar memperhatikan konteks hubungan-hubungan sosial ini, dikaitkan dengan dimensi ruang dan waktu. Konteks ini dapat disebut sebagai lingkaran kebudayaan yang melingkupi subjek hukum yang melingkupi subjek hukum yang sedang bernalar dan objek (problema hukum) yang sedang dinalarnya. Berdasarkan pemikiran inilah, maka sejak semula diterima suatu batasan sederhana dalam tulisan ini bahwa penalaran hukum adalah kegiatan berpikir problematis tersistematisasi dari subjek hukum (manusia) sebagai makhluk individu dan sosial dalam lingkaran kebudayaan. Kendati subjek yang melakukan penalaran hukum ini diasumsikan berada dalam kondisi psikis yang bebas, dalam kenyataannya ia tidak bebas sepenuhnya. Penalaran hukum dalam arena ilmu hukum dogmatis wajib berjalan menurut koridor sistem hukum positif.

Ilmu hukum dogmatis (dogmatika hukum) biasanya diindikasikan selalu menggunakan model penalaran Positivisme Hukum dan Utilitarianisme. Karena menggunakan kata Potitivisme maka model penalaran Positivisme Hukum itu kerap disangkakan sbagai derivasi dari aliran berpikir Positivisme Logis dan Empirisme Logis, suatu aliran yang mainstream diskursus filsafat zaman modern. Kegiatan ilmu hukumdogmatis berintikan kegiatan mengumpulkan (kompilasi) dan menafsirkan (interpretasi) semua aturan hukum yang berlaku. Hasil pekerjaan ini disistematisasi dalam tatanan yang utuh yang disebut sistem hukum. Kegiatan mengumpulkan, menafsirkan, dan mensistematisasi aturan-aturan hukum ini ditujukan untuk membantu para pengambil keputusan hukum tatkala mereka menghadapi kasus-kasus konkret di lapangan.

Silogisme yang dikenal dalampenalaran hukum dalambanyak hal menunjukkan kekhasan ilmu hukum dogmatis.sekalipun sumber-sumber hukum otoritatif mungkin telah tersedia, dalam kenyataan sumber-sumber ini banyak yang tidak”siap pakai”. Artinya, norma positif dalam sistem perundang-undangan itu tidak dapat dideduksi langsung ke dalamstruktur faktanya. Jika demikian hal nya, pengemban hukum yang menjadi subjek hukum penalaran harus mengkreasikan sendiri premis-premis itu.






Komentar

Postingan populer dari blog ini

Biografi dan Perjalanan Hidup Ibnu An-Nafis

Syar'u Man Qablana

Model-Model Penalaran Hukum