Masa Modern dan Posmodern

Dalam periodisasi filsafat, istilah “modern” diberikan untuk suatu rentang waktu yang berawal padaabake16. Tahap pertama Zaman Modern itu dimulai tatkala manusia menganggap jati dirinya lahir kembali (renaissance),  lepas dari tekanan  Abad  Pertengahan  yang penuh prasangka tentang kehidupan manusiasebagai makhluk pendosa. Menurut  Bertrand  Russell, ada dua hal terpenting  yang menandai awal  sejarah  modern,  yakni runtuhnya otoritas gereja danmenguatnya  otoritas ilmu (sains).  Kemunduran otoritasgereja membawa implikasi besar secara politis.  Pengaruh gereja terhadap ilmu  pada  Abad  Pertengahanjelas melebihi  pengaruh  Negara,  dan halini semata-mata karena gereja memiliki  otoritas  politis tersebut.Ilmu  pada era modern  dapat  dikatakan  “sukses” membangun dirinya Karena berhasil memperkuat sendi-sendi epistimologinya.  Demikian kuatnya sendi-senditersebut, sehingga wacana filsafat pada zaman inididominasi oleh tema-tema epistimologis.  Bahkan, tidakberlebihan jika dikatakan inti dari filsafat Zaman   Modern adalah epistimologi itu sendiri. Pandangan iniberlangsung hingga  Abad ke-20  hingga akhirnyadikoreksi oleh kaum pormodernis. Adalah  Richard Rorry yang dengan jeli melihat inti permasalahan epistimologis yang telah mentradisi sepanjang Zaman  Modern tersebut.  Gugataan nya antara  lain terkait denganmasalah fondasionalisme dan representationalisme. Bagi eksponen posmodern, epistimologi tidak lagi layakdianggap sebagai fondasi  yang  menetapkan dasarkesahihan sekaligus batas-batas kesahihan ilmupengetahuan. Demikian  pula pengetahuan tidak lagidilihat sebagai representasi realitas  yang sepenuhnyaindependen terhadap manusia.
                                                   
Perbandingan Keilmuan Hukum EraModern  dan Posmodern

Peraturan hukum Kritis (postmodern)

Masyarakat yang diperintah oleh hokumlebih baik daripada masyarakat yang diperintaholeh manusia karena hokum itu  netral, diciptakan dan dimodifikasi oleh kehendakmayoritas. Itu juga stabil, adil dan tidak tundukpada tingkah aturan manusia.
Masyarakat tidak  pernah diatur oleh hokumkarena orang harus menafsirkan hokum danmenegakkannya. Karena orang dapatmenafsirkan hokum dengan cara apa pun yang mereka inginkan, orang bukan hokum adalahpenguasa  yang sebenarnya. Hukum tidak lebihstabil dari interpretasi atau penerapannya  yang terbaru.  "Keadilan" adalah alat retoris  yang digunakan oleh budaya mayoritas untukmenggambarkan pandangan mereka tentang apa yang harus terjadi.

Arti hukum
Hukum dapat menghasilkan makna  yang scable dan disepakati secara umum ketikamenafsirkan menggunakan hermeneutikagramatikal-historis dan hukum kasussebelumnya.
Penelitian yang cermat menunjukkanbahwa mereka yang berada di jajaran hakim danpemerintahan yang berkuasa selalu dapatmenemukan hukum yang mendukungkepentingan mereka. Orang miskin danminoritas dikecualikan dari menafsirkan hokumdengan cara mereka Itu hokum dan masyarakatsetiap orang sama di bawah hukum. Hakim harus tidak memihak, memberikan hokumkepada yang kaya dan yang miskin sesuai denganapa yang dikatakan hukum, bukan menurutperasaan hakim. Hukum ditulis oleh kuatmasyarakat untuk melindungi kepentinganmereka dan untuk menggambarkan sebagai "pidana" tindakan apapun yang mengancamproperty atau  orang-orang mereka. Orang miskin dan minoritas akan selalu ditangkap lebihbanyak, sementara kejahatan orang kaya tidakakan dihukum banyak pada saat itu. Hakim harus menyadari hal ini dan menggunakankekuatan mereka untuk meratakan nilai.Dominasi era modern yang secara tradisionalmenekankan pada semangat Positivisme alaAuguste  Comte, membawa dampak yang luarbiasa pada karakteristik ilmu hokum itu sendiri. Hukum telah terbiasa dipersepsikan secaramekanistis, sebagai sarana yang objektif danstabil. Mekanisme  yang dijalankan oleh hakim menekankan pada uni formitas, khususnyadalam hal penafsiran terhadap makna norma-norma itu sendiri. Tafsi rmonolitik seperti iniakhirnya dipandang justru menjauhkan norma-norma itu dari mayoritas subjek (pendukung) hukum itu. Tafsir monolitik akhirnya menjaditafsir monopolitis, dalam arti tafsir  yang dikuasai oleh sudut pandang penguasa politikdan ekonomi. Monopoli tafsir yang berpusatpada penguasa di satu sisi menjamin nilai-nilaikepastian, namun di sisi lain telah menggerogotinilai-nilai keadilan. Kaum posmodernis melihathokum telah berpihak. Mereka menyaksikanbahwa konsep “equality before the law”  yang begitu dihormati dan dibanggakan oleh Negara-negara yang mengaku demokratis, ternyatasekedar retorika  yang menyesatkan dalamkehidupan sehari-hari.         
Dalam hal perkembangan ini, kreditterbesar patut diberikan kepada ilmu-ilmuempiris hukum yang menggunakan perspektifeksternal, seperti sosiologi hukum, sejarahhukum, antropologi hokum dan psikologi hukum. Sosiologi hokum membuka mata para teoretisdan filsuf hokum tentang dimens ihukum yang hidup  (living law), sehingga nilai-nilaikemanfaatan menjadi penting untukdiakodomodasi ke dalam pengemban hukum. Sejarah hokum dan antropologi hokum juga memberi andil, antara lain dengan memberitempat pada sumber-sumber alternative hokumdiluar undang-undang. Hukum adat yang digalidan tradisi local terbukti telah memperkayakhazanah sumber hukum di semua Negara, sekalipun mungkin tingkat prioritasnya berbeda-beda dalam berbagai system hukum. Psikologihukum pun demikian halnya. Ia berjasa telahmengurangi karakter mekanistis hokum denganmenyadarkan banyak pihak terhadap sisi-sisimanusiawi dari para pengemban hukum. Hakim adalah manusia yang rentan terhadap tekanan-tekanan, seperti politis dan ekonomis.
            Dengan demikian ciri khas promodernisme adalah penolakannya yang kuatterhadap dominasi narasi (atau metanarasi). Metode-metode ilmiah lahir dari percakapanantar-narasi, atau dapat juga disebut dialektikaantar-mitos. Oleh karena itu, manusiapostmodern tidak boleh lagi berpegang kepadamitos-modern yang hanya meyakini satu narasiuntuk mengabsahkan segala sesuatu. Era iniadalah era dimana segala sesuatu “tidakdiabsahkan”.  Akibatnya, konsep postmodernselalu menyerang pandangan  yang menganggapdirinya universal. Posmodern menyatakan “perang terhadap totalitas”.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Biografi dan Perjalanan Hidup Ibnu An-Nafis

Syar'u Man Qablana

Model-Model Penalaran Hukum