Qaulu Shahabi
A. PENGERTIAN QAUL SHAHABI
Kata “Qaul” adalah mashdar dari qaala-yaquulu qaulan yang artinya adalah “perkataan”. “Shahabi” artinya adalah sahabat atau teman. Tetapi yang dimaksudkan disini adalah sahabat Nabi atau yang pernah bertemu dengan Nabi dan mati dalam keadaan Islam. Jadi yang di maksud dengan “qaul shahabi” disini adalah pendapat, atau fatwa para shahabat nabi SAW, tentang suatu kasus yang belum dijelaskan hukumnya secara tegas didalam al-quran dan sunnah.
Qaul shahabi dalam ilmu ushul fiqh adalah:
فَتَوَى الصَّحَا بِى بِا نْفِرَا دِهِ قَوْ لُهُ
“fatwa sahabat (Nabi) yang berbentuk ucapan dengan dasar (pendapat) pribadinya.”
Sahabat adalah orang-orang yang bertemu Rasulullah SAW. Yang langsung menerima risalahnya, dan mendengarkan langsung penjelasan syari'at dari beliau sendiri. Jumhur fuqaha telah menetapkan bahwa pendapat mereka dapat dijadikan hujjah sesudah dalil-dalil nash.
Definisi yang dikemukakan oleh al-Imam Ahmad Ibn Hanbal “Sahabat adalah orang yang pernah hidup bersama nabi, sehari atau sebulan atau sesaat atau hanya melihatnya.” Pendapat ini kurang mengena, karena banyak orang-orang yang bertemu dengan Rasulullah (termasuk orang Badui) dengan waktu yang sebentar, tetapi dengan itu tidak serta merta mereka dapat dikatakan adil. Imam al-Waqidi berpendapat bahwa sahabat adalah setiap orang yang melihat Rasul dalam keadaan baligh, Islam dan sudah mampu memahami urusan agama. Namun pengertian ini dikritik oleh Al-Iroqi yang mengatakan bahwa batasan baligh akan menghilangkan kesahabatan Abdullah bin Abbas, Abdullah bin Zubair, Hasan dan Husain yang telah ditetapkan sebagai sahabat dan banyak meriwatkan hadits dari Rasululah.
Said bin Musayyab berpendapat bahwa sahabat adalah orang-orang yang hidup bersama Rasul selama satu atau dua tahun dan pernah ikut berperang bersamanya satu atau dua kali. Pendapat ini tidak disetujui oleh mayoritas ulama, karena akan berimbas pada sahabat yang tidak pernah ikut berperang. Padahal Jarir bin Abdullah adalah sahabat yang belum pernah ikut berperang bersama Rasul.
Menurut Ibnu Hajar, definisi paling shahih adalah yang diberikan jumhur muhadditsin, yaitu sahabat adalah orang yang pernah bertemu dengan nabi dalam keadaan dia beriman dan meninggal dalam keadaan Islam. Orang yang bertemu dengan nabi tapi belum memeluk Islam, maka ia tidak dipandang sebagai sahabat. Orang yang semasa dengan Nabi dan beriman kepadanya, tetapi tidak memjumpainya, seperti Najasi, atau menjumpai Nabi setelah Nabi wafat, seperti Abu Dzuaib Khuwailid bin Khalid al-Khadzali juga tidak disebut sahabat.
B. MACAM-MACAM QAULU SHAHABI
Para ulama membagi qaulu shahabi menjadi beberapa macam, di antaranya:
1. Perkataan sahabat terhadap hal-hal yang tidak termasuk objek ijtihad. Dalam hal ini para ulama semuanya sepakat bahwa perkataan sahabat bisa dijadikan hujjah. Karena kemungkinan sima’ dari Nabi SAW sangat besar, sehingga perkataan sahabat dalam hal ini bisa termasuk dalam kategori al-Sunnah, meskipun perkataan ini adalah hadits mauquf. Pendapat ini dikuatkan oleh Imam as-Sarkhasi dan beliau memberikan contoh perkataan sahabat dalam hal-hal yang tidak bisa dijadikan objek ijtihad seperti, perkataan Ali bahwa jumlah mahar yang terkecil adalah sepuluh dirham, perkataan Anas bahwa paling sedikit haid seorang wanita adalah tiga hari sedangkan paling banyak adalah sepuluh hari.
Namun contoh-contoh tesebut ditolak oleh beberapa ulama Syafi’iyah, bahwa hal-hal tersebut adalah permasalahan-permasalahan yang bisa dijadikan objek ijtihad. Dan pada kenyataannya baik jumlah mahar dan haid wanita berbeda-beda dikembalikan kepada kebiasaan masing-masing.
2. Perkataan sahabat yang disepakati oleh sahabat yang lain. Dalam hal ini perkataan sahabat adalah hujjah karena masuk dalam kategori ijma’.
3. Perkataan sahabat yang tersebar di antara para sahabat yang lainnya dan tidak diketahui ada sahabat yang mengingkarinya atau menolaknya. Dalam hal inipun bisa dijadikan hujjah, karena ini merupakan ijma’ sukuti, bagi mereka yang berpandapat bahwa ijma’ sukuti bisa dijadikan hujjah.
4. Perkataan sahabat yang berasal dari pendapatnya atau ijtihadnya sendiri. Qaul al-Shahabi yang seperti inilah yang menjadi perselisihan di antara para ulama mengenai keabsahannya sebagai hujjah dalam fiqh Islam.
C. KEHUJJAHAN QAUL SHAHABI
Ulama ushul memiliki tiga pendapat, yaitu:
1. Satu pendapat mengatakan bahwa qaulu shahabi dapat menjadi hujjah. Pendapat ini berasal dari Imam Malik, Abu bakar ar-Razi, Abu Said shahabat Imam Abu Hanifah, begitu juga Imam Syafi’i dalam madzhab qadim nya, termasuk juga Imam Ahmad Bin Hanbal dalam satu riwayat.
Alasan pendapat ini adalah firman Allah SWT:
كُنْتُمْ خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ تَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَتَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَتُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَلَوْ آَمَنَ أَهْلُ الْكِتَابِ لَكَانَ خَيْرًا لَهُمْ مِنْهُمُ الْمُؤْمِنُونَ وَأَكْثَرُهُمُ الْفَاسِقُونَ
yang artinya:
“Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma'ruf, dan mencegah dari yang munkar”. (QS. Ali-Imran: 110)
Ayat ini merupakan kitab dari Allah untuk sahabat-sahabat agar mereka menganjurkan ma’ruf, sedangkan perbuatan ma’ruf adalah wajib, karena itu pendapat para sahabat wajib diterima.
Alasan yang kedua adalah hadis Rasul:
عن النبي ﷺ قال خيركم قرني ثمَ الذين يلونهم ثمَ الذين يلونهم
yang artinya:
“Dari Nabi SAW, beliau bersabda: Sebaik-baik kamu (adalah yang hidup pada) masaku, kemudian generasi berikutnya, kemudian generasi berikutnya.”
Dari segi alasan logika, pendapat sahabat dijadikan hujjah karena terdapat kemungkinan bahwa pendapat mereka itu berasal dari Rasullullah. Di samping itu, karena mereka sangat dekat dengan Rasulullah dalam rentang waktu yang lama, hal itu memberikan pengalaman yang sangat luas kepada mereka dalam memahami ruh syari'at dan tujuan-tujuan pensyari'atan hukum syara’ (maqashid syariah). Oleh karena itu, jika pendapat mereka bertentangan dengan al-Qiyas, maka sangat mungkin ada landasan hadis yang mereka gunakan saat itu.
2. Satu pendapat mengatakan bahwa mazhab sahabat (qaulus shahabi) secara mutlak tidak dapat menjadi hujjah/dasar hukum. Pendapat ini berasal dari jumhur Asy'ariyah dan Mu’tazilah, dan Abu Hasan al-Kharha dari golongan Hanafiyah.
Alasan mereka antara lain adalah firman Allah:
فَاعْتَبِرُوا يَا أُولِي الأبْصَارِ
Artinya:
“. . . Maka ambillah (kejadian itu) untuk menjadi pelajaran, hai orang-orang yang mempunyai pandangan”. (QS. al-Hasyr: 2)
Maksud ayat tersebut, menurut mereka memerintahkan orang-orang yang memiliki nalar untuk berijtihad menggunakan nalar, dan hal itu sekaligus melarang orang yang memiliki kapasitas intelektual yang tinggi untuk bertaklid, apalagi jika qaulu shahabi tersebut bertentangan dengan al-Qiyas. Dalam pada itu, al-Qiyas dipandang sebagai dalil keempat setelah al-Qur’an, as-Sunnah, dan al-Ijma. Oleh karena itu, tidak boleh mengikuti qaulu shahabi yang bertentangan dengan al-qiyas, karena kedudukan al-qiyas lebih tinggi dari qaulu shahabi.
3. Ulama Hanafiyah, Imam Malik, qaul qadim Imam Syafi’i dan pendapat terkuat dari Imam Ahmad bin Hanbal, menyatakan bahwa pendapat sahabat itu menjadi hujjah dan apabila pendapat sahabat bertentangan dengan qiyas maka pendapat sahabat didahulukan.
Alasan yang mereka kemukakan antara lain adalah firman Allah dalam surat at-Taubah ayat 100
وَالسَّابِقُونَ الأوَّلُونَ مِنَ الْمُهَاجِرِينَ وَالأنْصَارِ وَالَّذِينَ اتَّبَعُوهُمْ بِإِحْسَانٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا
عَنْه
Artinya:
“Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) dari golongan muhajirin dan anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka” (QS. at-Taubah: 100)
Dalam ayat ini menurut mereka, Allah secara jelas memuji para sahabat karena merekalah yang pertama kali masuk Islam.
D. PENDAPAT ULAMA TENTANG QAUL SHAHABI
Secara keseluruhan, para imam dari keempat madzhab mengikuti qaulu shahabi, dan tidak menghindarinya. Para Imam mazhab yang empat sepakat menjadikan qaul al-Shahabi sebagai rujukan terhadap masalah-masalah yang bukan merupakan wilayah ijtihad. Sebab dalam masalah-masalah yang bukan merupakan wilayah ijtihad, qaul al-Shahabi dipandang berkedudukan sebagai al khabar at-tawqifi (informasi keagamaan yang diterima tanpa reserve) yang bersumber dari Rasulullah. Para Ulama juga sepakat, qaulu shahabi menjadi rujukan hukum berkaitan dengan ketentuan hukum dari masalah yang disepakati oleh para sahabat (ijma shahabi), baik kesepakatan tersebut bersifat pernyataan bersama (ijma sharih), maupun yang dipandang sebagai kesepakatan bersama karena tidak ada pendapat yang berbeda dengan pendapat yang berkembang (ijma sukuti).
1. Imam Abu Hanifah
Adapun sumber hukum ijtihad yang pokok Abu Hanifah yaitu apabila tidak terdapat dalam Alquran, ia merujuk pada sunnah Rasul dan atsar yang shahih yang diriwayatkan oleh orang orang yang tsiqah. Dan bila tidak mendapatkan pada keduanya, maka ia akan merujuk pada qaul sahabat, dan apabila sahabat ikhtilaf, maka ia akan mengambil pendapat dari sahabat manapun yang ia kehendaki. Dalam hal ini, Abu Hanifah telah berkata: “Jika kami tidak menjumpai dasar-dasar hukum dari al-Qur’an dan hadist, maka kami mempergunakan fatwa-fatwa sahabat. Pendapat para sahabat tersebut, ada yang diambil, ada pula yang kami tinggalkan. Akan tetapi kami tidak akan beralih dari pendapat mereka kepada selain mereka.”
2. Imam Syafi’i
Diriwayatkan oleh ar-Rabi’, bahwa Imam Syafi’i berkata dalam kitab al-Risalahnya sebagai berikut:
“Suatu ketika kami menjumpai para ulama mengambil pendapat seorang sahabat, sementara pada waktu yang lain mereka meninggalkannya. Mereka berselisih terhadap sebagian pendapat yang diambil dari para sahabat.” Kemudian seorang teman diskusinya bertanya: “Bagaimanakah sikap anda terhadap hal ini?”. Dia menjawab: “Jika kami tidak menemukan dasar-dasar hukum dari al-Qur’an, sunah, ijma’, dan sesamanya, maka kami mengikuti pendapat salah seorang sahabat”.
Diriwayatkan juga oleh ar-Rabi’, bahwa Imam Syafi’i di dalam kitab al-Umm berkata: “Jika kami tidak menjumpai dasar-dasar hukum dalam al-Qur’an dan sunnah, maka kami kembali kepada pendapat para sahabat atau salah seorang dari mereka. Kemudian jika kami harus bertaqlid, maka kami lebih senang kembali (mengikuti) pendapat Abu Bakar, Umar atau Usman. Karena jika kami tidak menjumpai dilalah dalam ikhtilaf yang menunjukan pada ikhtilaf yang lebih dekat kepada al-Qur’an dan sunnah, niscaya kami mengikuti pendapat yang mempunyai dilalah”
Keterangan di atas menunjukkan, bahwa dalam menetapkan hukum, pertama-tama Imam Syafi’i mengambil dasar dari Alquran dan Sunnah, kemudian pendapat yang telah disepakati oleh para sahabat. Setelah itu, pendapat-pendapat yang diperselisihkan tersebut tidak mempunyai hubungan yang kuat dengan Al quran dan Hadist, maka dia mengikuti apa yang dikerjakan oleh al-Khulafa ar-Rasyidin, karena pendapat mereka telah masyhur, dan pada umumnya sangat teliti.
3. Imam Malik bin Anas
Demikian juga Imam Malik RA dalam kitabnya al-Muwaththa’ banyak sekali hukum-hukum yang didasarkan pada fatwa-fatwa sahabat.
Metode Ijtihad Imam Malik bin Anas :
a. Al-Qur’an
b. Hadits (termasuk hadits dhaif yang diamalkan penduduk Madinah).
c. Ijma’
d. Atsar yang diamalkan penduduk Madinah.
e. Qiyas
f. Mashlahah Mursalah (keluar dari Qiyas umum karena alasan mencari maslahat)
g. Perkataan Sahabat.
Bila dibandingkan dengan Imam Abu Hanifah (aliran Kufah), mazhab Imam Malik mewakili aliran Hijaz lebih banyak berdasarkan hadits dan atsar, lebih sedikit menggunakan porsi dengan ra’yu (Qiyas). Kitab Kitab Mazhab Maliki, Kitab Hadits, Al Muwatta’, Syada’id Abdullah bin Umar (Pendapat-pendapat Abdullah bin Umar yang keras), Rukhas Abdullah bin Abbas (Pendapat-pendapat Abdullah bin Abbas yang ringan), Shawazh Abdullah Ibnu Mas’ud (Pendapat-pendapat Abdullah bin Mas’ud).
4. Imam Ahmad bin Hanbal
Imam Ahmad bin Hanbal menggunakan metode al-hadits dalam beristinbath. Adapun sumber hukum yang dijadikannya sebagai landasan yaitu Alquran, sunnah, qaul shahabi yang tidak bertentangan, hadis mursal, hadis dhaif, qiyas dan sadz al dzar’i.
Imam Hanbal lebih mengutamakan hadis mursal atau hadis dhaif daripada qiyas. Sebab, beliau tidak akan menggunakan qiyas kecuali dalam keadaan sangat terpaksa. Demikian juga halnya dengan qaul shahabi, beliau tidak menyukai fatwa bila tanpa didasarkan pada atsar.
Apabila dalam Alquran dan sunnah tidak didapati dalil yang dicari maka beliau menggunakan fatwa para sahabat Nabi yang tidak ada perselisihan di antara mereka. Namun jika tidak ditemui dalam fatwa tersebut, maka beliau mengunakan hadis mursal dan dhaif. Bila masih tidak ditemukan juga, maka barulah beliau mengqiyaskannya.
E. CONTOH QAULU SHAHABI
1. Fatwa aisyah yang menjelaskan batas maksimal kehamilan seorang wanita adalah 2 (dua) tahun melalui ungkapannya “Anak tidak berada didalam perut ibunya lebih dari dua tahun.
2. Fatwa anas bin malik yang menerangkan tentang minimal haid wanita yaitu 3 (tiga) hari.
3. Fatwa umar bin khath-thab tentang laki-laki yang menikahi wanita dalam masa ‘iddah harus dipisahkan, dan diharamkan baginya untuk menikahi wanita tersebut.
Kata “Qaul” adalah mashdar dari qaala-yaquulu qaulan yang artinya adalah “perkataan”. “Shahabi” artinya adalah sahabat atau teman. Tetapi yang dimaksudkan disini adalah sahabat Nabi atau yang pernah bertemu dengan Nabi dan mati dalam keadaan Islam. Jadi yang di maksud dengan “qaul shahabi” disini adalah pendapat, atau fatwa para shahabat nabi SAW, tentang suatu kasus yang belum dijelaskan hukumnya secara tegas didalam al-quran dan sunnah.
Qaul shahabi dalam ilmu ushul fiqh adalah:
فَتَوَى الصَّحَا بِى بِا نْفِرَا دِهِ قَوْ لُهُ
“fatwa sahabat (Nabi) yang berbentuk ucapan dengan dasar (pendapat) pribadinya.”
Sahabat adalah orang-orang yang bertemu Rasulullah SAW. Yang langsung menerima risalahnya, dan mendengarkan langsung penjelasan syari'at dari beliau sendiri. Jumhur fuqaha telah menetapkan bahwa pendapat mereka dapat dijadikan hujjah sesudah dalil-dalil nash.
Definisi yang dikemukakan oleh al-Imam Ahmad Ibn Hanbal “Sahabat adalah orang yang pernah hidup bersama nabi, sehari atau sebulan atau sesaat atau hanya melihatnya.” Pendapat ini kurang mengena, karena banyak orang-orang yang bertemu dengan Rasulullah (termasuk orang Badui) dengan waktu yang sebentar, tetapi dengan itu tidak serta merta mereka dapat dikatakan adil. Imam al-Waqidi berpendapat bahwa sahabat adalah setiap orang yang melihat Rasul dalam keadaan baligh, Islam dan sudah mampu memahami urusan agama. Namun pengertian ini dikritik oleh Al-Iroqi yang mengatakan bahwa batasan baligh akan menghilangkan kesahabatan Abdullah bin Abbas, Abdullah bin Zubair, Hasan dan Husain yang telah ditetapkan sebagai sahabat dan banyak meriwatkan hadits dari Rasululah.
Said bin Musayyab berpendapat bahwa sahabat adalah orang-orang yang hidup bersama Rasul selama satu atau dua tahun dan pernah ikut berperang bersamanya satu atau dua kali. Pendapat ini tidak disetujui oleh mayoritas ulama, karena akan berimbas pada sahabat yang tidak pernah ikut berperang. Padahal Jarir bin Abdullah adalah sahabat yang belum pernah ikut berperang bersama Rasul.
Menurut Ibnu Hajar, definisi paling shahih adalah yang diberikan jumhur muhadditsin, yaitu sahabat adalah orang yang pernah bertemu dengan nabi dalam keadaan dia beriman dan meninggal dalam keadaan Islam. Orang yang bertemu dengan nabi tapi belum memeluk Islam, maka ia tidak dipandang sebagai sahabat. Orang yang semasa dengan Nabi dan beriman kepadanya, tetapi tidak memjumpainya, seperti Najasi, atau menjumpai Nabi setelah Nabi wafat, seperti Abu Dzuaib Khuwailid bin Khalid al-Khadzali juga tidak disebut sahabat.
B. MACAM-MACAM QAULU SHAHABI
Para ulama membagi qaulu shahabi menjadi beberapa macam, di antaranya:
1. Perkataan sahabat terhadap hal-hal yang tidak termasuk objek ijtihad. Dalam hal ini para ulama semuanya sepakat bahwa perkataan sahabat bisa dijadikan hujjah. Karena kemungkinan sima’ dari Nabi SAW sangat besar, sehingga perkataan sahabat dalam hal ini bisa termasuk dalam kategori al-Sunnah, meskipun perkataan ini adalah hadits mauquf. Pendapat ini dikuatkan oleh Imam as-Sarkhasi dan beliau memberikan contoh perkataan sahabat dalam hal-hal yang tidak bisa dijadikan objek ijtihad seperti, perkataan Ali bahwa jumlah mahar yang terkecil adalah sepuluh dirham, perkataan Anas bahwa paling sedikit haid seorang wanita adalah tiga hari sedangkan paling banyak adalah sepuluh hari.
Namun contoh-contoh tesebut ditolak oleh beberapa ulama Syafi’iyah, bahwa hal-hal tersebut adalah permasalahan-permasalahan yang bisa dijadikan objek ijtihad. Dan pada kenyataannya baik jumlah mahar dan haid wanita berbeda-beda dikembalikan kepada kebiasaan masing-masing.
2. Perkataan sahabat yang disepakati oleh sahabat yang lain. Dalam hal ini perkataan sahabat adalah hujjah karena masuk dalam kategori ijma’.
3. Perkataan sahabat yang tersebar di antara para sahabat yang lainnya dan tidak diketahui ada sahabat yang mengingkarinya atau menolaknya. Dalam hal inipun bisa dijadikan hujjah, karena ini merupakan ijma’ sukuti, bagi mereka yang berpandapat bahwa ijma’ sukuti bisa dijadikan hujjah.
4. Perkataan sahabat yang berasal dari pendapatnya atau ijtihadnya sendiri. Qaul al-Shahabi yang seperti inilah yang menjadi perselisihan di antara para ulama mengenai keabsahannya sebagai hujjah dalam fiqh Islam.
C. KEHUJJAHAN QAUL SHAHABI
Ulama ushul memiliki tiga pendapat, yaitu:
1. Satu pendapat mengatakan bahwa qaulu shahabi dapat menjadi hujjah. Pendapat ini berasal dari Imam Malik, Abu bakar ar-Razi, Abu Said shahabat Imam Abu Hanifah, begitu juga Imam Syafi’i dalam madzhab qadim nya, termasuk juga Imam Ahmad Bin Hanbal dalam satu riwayat.
Alasan pendapat ini adalah firman Allah SWT:
كُنْتُمْ خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ تَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَتَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَتُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَلَوْ آَمَنَ أَهْلُ الْكِتَابِ لَكَانَ خَيْرًا لَهُمْ مِنْهُمُ الْمُؤْمِنُونَ وَأَكْثَرُهُمُ الْفَاسِقُونَ
yang artinya:
“Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma'ruf, dan mencegah dari yang munkar”. (QS. Ali-Imran: 110)
Ayat ini merupakan kitab dari Allah untuk sahabat-sahabat agar mereka menganjurkan ma’ruf, sedangkan perbuatan ma’ruf adalah wajib, karena itu pendapat para sahabat wajib diterima.
Alasan yang kedua adalah hadis Rasul:
عن النبي ﷺ قال خيركم قرني ثمَ الذين يلونهم ثمَ الذين يلونهم
yang artinya:
“Dari Nabi SAW, beliau bersabda: Sebaik-baik kamu (adalah yang hidup pada) masaku, kemudian generasi berikutnya, kemudian generasi berikutnya.”
Dari segi alasan logika, pendapat sahabat dijadikan hujjah karena terdapat kemungkinan bahwa pendapat mereka itu berasal dari Rasullullah. Di samping itu, karena mereka sangat dekat dengan Rasulullah dalam rentang waktu yang lama, hal itu memberikan pengalaman yang sangat luas kepada mereka dalam memahami ruh syari'at dan tujuan-tujuan pensyari'atan hukum syara’ (maqashid syariah). Oleh karena itu, jika pendapat mereka bertentangan dengan al-Qiyas, maka sangat mungkin ada landasan hadis yang mereka gunakan saat itu.
2. Satu pendapat mengatakan bahwa mazhab sahabat (qaulus shahabi) secara mutlak tidak dapat menjadi hujjah/dasar hukum. Pendapat ini berasal dari jumhur Asy'ariyah dan Mu’tazilah, dan Abu Hasan al-Kharha dari golongan Hanafiyah.
Alasan mereka antara lain adalah firman Allah:
فَاعْتَبِرُوا يَا أُولِي الأبْصَارِ
Artinya:
“. . . Maka ambillah (kejadian itu) untuk menjadi pelajaran, hai orang-orang yang mempunyai pandangan”. (QS. al-Hasyr: 2)
Maksud ayat tersebut, menurut mereka memerintahkan orang-orang yang memiliki nalar untuk berijtihad menggunakan nalar, dan hal itu sekaligus melarang orang yang memiliki kapasitas intelektual yang tinggi untuk bertaklid, apalagi jika qaulu shahabi tersebut bertentangan dengan al-Qiyas. Dalam pada itu, al-Qiyas dipandang sebagai dalil keempat setelah al-Qur’an, as-Sunnah, dan al-Ijma. Oleh karena itu, tidak boleh mengikuti qaulu shahabi yang bertentangan dengan al-qiyas, karena kedudukan al-qiyas lebih tinggi dari qaulu shahabi.
3. Ulama Hanafiyah, Imam Malik, qaul qadim Imam Syafi’i dan pendapat terkuat dari Imam Ahmad bin Hanbal, menyatakan bahwa pendapat sahabat itu menjadi hujjah dan apabila pendapat sahabat bertentangan dengan qiyas maka pendapat sahabat didahulukan.
Alasan yang mereka kemukakan antara lain adalah firman Allah dalam surat at-Taubah ayat 100
وَالسَّابِقُونَ الأوَّلُونَ مِنَ الْمُهَاجِرِينَ وَالأنْصَارِ وَالَّذِينَ اتَّبَعُوهُمْ بِإِحْسَانٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا
عَنْه
Artinya:
“Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) dari golongan muhajirin dan anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka” (QS. at-Taubah: 100)
Dalam ayat ini menurut mereka, Allah secara jelas memuji para sahabat karena merekalah yang pertama kali masuk Islam.
D. PENDAPAT ULAMA TENTANG QAUL SHAHABI
Secara keseluruhan, para imam dari keempat madzhab mengikuti qaulu shahabi, dan tidak menghindarinya. Para Imam mazhab yang empat sepakat menjadikan qaul al-Shahabi sebagai rujukan terhadap masalah-masalah yang bukan merupakan wilayah ijtihad. Sebab dalam masalah-masalah yang bukan merupakan wilayah ijtihad, qaul al-Shahabi dipandang berkedudukan sebagai al khabar at-tawqifi (informasi keagamaan yang diterima tanpa reserve) yang bersumber dari Rasulullah. Para Ulama juga sepakat, qaulu shahabi menjadi rujukan hukum berkaitan dengan ketentuan hukum dari masalah yang disepakati oleh para sahabat (ijma shahabi), baik kesepakatan tersebut bersifat pernyataan bersama (ijma sharih), maupun yang dipandang sebagai kesepakatan bersama karena tidak ada pendapat yang berbeda dengan pendapat yang berkembang (ijma sukuti).
1. Imam Abu Hanifah
Adapun sumber hukum ijtihad yang pokok Abu Hanifah yaitu apabila tidak terdapat dalam Alquran, ia merujuk pada sunnah Rasul dan atsar yang shahih yang diriwayatkan oleh orang orang yang tsiqah. Dan bila tidak mendapatkan pada keduanya, maka ia akan merujuk pada qaul sahabat, dan apabila sahabat ikhtilaf, maka ia akan mengambil pendapat dari sahabat manapun yang ia kehendaki. Dalam hal ini, Abu Hanifah telah berkata: “Jika kami tidak menjumpai dasar-dasar hukum dari al-Qur’an dan hadist, maka kami mempergunakan fatwa-fatwa sahabat. Pendapat para sahabat tersebut, ada yang diambil, ada pula yang kami tinggalkan. Akan tetapi kami tidak akan beralih dari pendapat mereka kepada selain mereka.”
2. Imam Syafi’i
Diriwayatkan oleh ar-Rabi’, bahwa Imam Syafi’i berkata dalam kitab al-Risalahnya sebagai berikut:
“Suatu ketika kami menjumpai para ulama mengambil pendapat seorang sahabat, sementara pada waktu yang lain mereka meninggalkannya. Mereka berselisih terhadap sebagian pendapat yang diambil dari para sahabat.” Kemudian seorang teman diskusinya bertanya: “Bagaimanakah sikap anda terhadap hal ini?”. Dia menjawab: “Jika kami tidak menemukan dasar-dasar hukum dari al-Qur’an, sunah, ijma’, dan sesamanya, maka kami mengikuti pendapat salah seorang sahabat”.
Diriwayatkan juga oleh ar-Rabi’, bahwa Imam Syafi’i di dalam kitab al-Umm berkata: “Jika kami tidak menjumpai dasar-dasar hukum dalam al-Qur’an dan sunnah, maka kami kembali kepada pendapat para sahabat atau salah seorang dari mereka. Kemudian jika kami harus bertaqlid, maka kami lebih senang kembali (mengikuti) pendapat Abu Bakar, Umar atau Usman. Karena jika kami tidak menjumpai dilalah dalam ikhtilaf yang menunjukan pada ikhtilaf yang lebih dekat kepada al-Qur’an dan sunnah, niscaya kami mengikuti pendapat yang mempunyai dilalah”
Keterangan di atas menunjukkan, bahwa dalam menetapkan hukum, pertama-tama Imam Syafi’i mengambil dasar dari Alquran dan Sunnah, kemudian pendapat yang telah disepakati oleh para sahabat. Setelah itu, pendapat-pendapat yang diperselisihkan tersebut tidak mempunyai hubungan yang kuat dengan Al quran dan Hadist, maka dia mengikuti apa yang dikerjakan oleh al-Khulafa ar-Rasyidin, karena pendapat mereka telah masyhur, dan pada umumnya sangat teliti.
3. Imam Malik bin Anas
Demikian juga Imam Malik RA dalam kitabnya al-Muwaththa’ banyak sekali hukum-hukum yang didasarkan pada fatwa-fatwa sahabat.
Metode Ijtihad Imam Malik bin Anas :
a. Al-Qur’an
b. Hadits (termasuk hadits dhaif yang diamalkan penduduk Madinah).
c. Ijma’
d. Atsar yang diamalkan penduduk Madinah.
e. Qiyas
f. Mashlahah Mursalah (keluar dari Qiyas umum karena alasan mencari maslahat)
g. Perkataan Sahabat.
Bila dibandingkan dengan Imam Abu Hanifah (aliran Kufah), mazhab Imam Malik mewakili aliran Hijaz lebih banyak berdasarkan hadits dan atsar, lebih sedikit menggunakan porsi dengan ra’yu (Qiyas). Kitab Kitab Mazhab Maliki, Kitab Hadits, Al Muwatta’, Syada’id Abdullah bin Umar (Pendapat-pendapat Abdullah bin Umar yang keras), Rukhas Abdullah bin Abbas (Pendapat-pendapat Abdullah bin Abbas yang ringan), Shawazh Abdullah Ibnu Mas’ud (Pendapat-pendapat Abdullah bin Mas’ud).
4. Imam Ahmad bin Hanbal
Imam Ahmad bin Hanbal menggunakan metode al-hadits dalam beristinbath. Adapun sumber hukum yang dijadikannya sebagai landasan yaitu Alquran, sunnah, qaul shahabi yang tidak bertentangan, hadis mursal, hadis dhaif, qiyas dan sadz al dzar’i.
Imam Hanbal lebih mengutamakan hadis mursal atau hadis dhaif daripada qiyas. Sebab, beliau tidak akan menggunakan qiyas kecuali dalam keadaan sangat terpaksa. Demikian juga halnya dengan qaul shahabi, beliau tidak menyukai fatwa bila tanpa didasarkan pada atsar.
Apabila dalam Alquran dan sunnah tidak didapati dalil yang dicari maka beliau menggunakan fatwa para sahabat Nabi yang tidak ada perselisihan di antara mereka. Namun jika tidak ditemui dalam fatwa tersebut, maka beliau mengunakan hadis mursal dan dhaif. Bila masih tidak ditemukan juga, maka barulah beliau mengqiyaskannya.
E. CONTOH QAULU SHAHABI
1. Fatwa aisyah yang menjelaskan batas maksimal kehamilan seorang wanita adalah 2 (dua) tahun melalui ungkapannya “Anak tidak berada didalam perut ibunya lebih dari dua tahun.
2. Fatwa anas bin malik yang menerangkan tentang minimal haid wanita yaitu 3 (tiga) hari.
3. Fatwa umar bin khath-thab tentang laki-laki yang menikahi wanita dalam masa ‘iddah harus dipisahkan, dan diharamkan baginya untuk menikahi wanita tersebut.
Komentar
Posting Komentar